NOVA.id - Kampung Busu, Desa Slamparejo, Kecamatan Jabung merupakan salah satu kampung tertinggal di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Mereka memanfaatkan rumah milik Kusnadi Abit untuk belajar. Kusnadi merupakan seorang mantan preman yang kini membuka sebuah tempat belajar bernama Gubuk Baca Lereng Busu.
Di tempat ini, anak-anak bebas untuk belajar apapun sesuai minat mereka. Misalnya pada hari Minggu, anak-anak berdatangan ke rumah tersebut untuk senam dan menari. Mereka juga belajar membuat kerajinan tangan melalui sampah yang dibawa.
Sedangkan ketika Senin sampai Jumat, anak-anak datang malam hari. Mereka mendalami pelajaran yang sudah diajarkan di sekolah, seperti matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Jawa, dan Bahasa Indonesia. Terlebih saat pandemi, banyak mata pelajaran yang harus didalami karena pembelajaran di sekolah hanya diikuti dengan sistem daring.
Mereka didampingi oleh kakak tingkatnya yang sudah duduk di bangku SMP, SMA, dan juga perguruan tinggi.
Baca Juga: Sebut Tak Bisa Bersatu, Richard Kyle Kepergok Antar El Barack ke Sekolah Hingga Jedar Menangis
"Supaya adik-adik senang belajar juga dikasih permainan, tebak-tebakan," kata Amelia Uswatun Hasanah, siswa kelas 11 di SMK Ahmad Yani, Jabung yang menjadi salah satu pendamping di Gubuk Baca.
Ada 26 orang yang mendampingi sekitar 120 siswa yang kerap datang untuk belajar tempat itu.
Sekolah ini didirikan oleh mantan preman Gubuk Baca Lereng Busu berdiri sejak tahun 2015. Ketika itu, Kusnadi Abit (39) atau yang akrab disapa Cak Kus termotivasi oleh rekannya di Gang Tato, Desa Kemantren, Jabung.
"Saya terpicu oleh teman-teman saya yang di Gang Tato. Kerjaannya biadab tok. Tahu-tahunya temanku yang dulu kayak begitu, yang notabene banyak merugikan orang, sekarang kok kayak gitu ya (berubah jadi produktif). Nyoba ikut-ikut," katanya.
Baca Juga: Kemendikbud Berikan Subsidi Kuota Internet 35 GB untuk Siswa Sekolah, Begini Cara Mendapatkannya
Kusnadi yang juga seorang preman juga kerap mabuk dan berkelahi. Tidak jarang dia mengajari anak yang masih duduk di bangku SD untuk mabuk. Namun itu sudah berlalu, Gubuk Baca telah menjadi titik balik perubahan sikapnya.
"Teman saya yang notabene paling nakal pun bisa, saya juga bisa. Semua niat baik ini semoga menghapus kesalahan yang dulu," jelasnya.
Kusnadi menyisihkan ruangan di rumahnya untuk dijadikan sebagai tempat belajar. Sedangkan untuk pembelajaran yang butuh ruang terbuka, ia memanfaatkan halaman rumah tetangga atau lapangan di seberang jalan gang rumahnya.
Gubuk baca itu menjadi bagian dari Republik Gubuk yang diprakarsai oleh Fachrul Alamsyah atau akrab disapa Irul.
Baca Juga: Dua Hal ini Perlu Ibu Pahami saat Dampingi Anak Belajar dari Rumah
Gubuk Baca Lereng Busu saat ini terdiri dari tiga gubuk, yakni Gubuk Baca Kampung Tretek yang ada di rumah Kusnadi, Gubuk Baca Lari Selatan, dan Gubuk Baca Kiai Said. Gubuk-gubuk itu didirikan untuk menjangkau lebih dekat anak-anak yang ingin belajar.
Angka putus sekolah di Kampung Busu sangat tinggi. Apalagi, kampung itu menjadi kampung terluar di Kabupaten Malang.
Nama Busu berasal dari kata bucu yang berarti pojok. Kampung itu berada di pojok timur sisi utara atau timur laut, dan berbatasan langsung dengan pegunungan Tengger. Di balik pegunungan itu sudah masuk wilayah Kabupaten Pasuruan.
Pada tahun 2015 ke belakang atau sebelum Gubuk Baca berdiri, rata-rata warga di kampung itu hanya lulusan SD. Mereka yang kebanyakan menjadi peternak sapi perah enggan menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Begitu juga dengan anak-anaknya, selepas SD mereka memilih untuk membantu orangtua beternak sapi.
Baca Juga: Anti Marah-Marah saat Dampingi Anak Belajar, Segera Lakukan Ini Saja!
"Orangtuanya kan banyak peternak, kalau sudah lulus SD, apalagi laki-laki, tidak disarankan untuk sekolah malahan. Malah disarankan untuk nyari rumput," katanya.
Pola pikir masyarakat seperti itu membuat angka putus sekolah dari generasi ke generasi cukup tinggi. Karena itu, selain untuk memberikan pembelajaran, Gubuk Baca juga memotivasi anak-anak supaya sekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan ke perguruan tinggi.
Seiring dengan berkembangnya Gubuk Baca, warga juga mulai termotivasi untuk menyekolahkan anaknya lebih tinggi lagi. Motivasi warga itu disebabkan oleh kedatangan berbagai kalangan ke Gubuk Baca. Seperti mahasiswa untuk mengabdikan diri mengajari anak-anak.
"Setelah kita berpartisipasi dengan belajar seperti ini, lalu kedatangan mahasiswa, mereka termotivasi untuk sekolah lanjutan. Orangtuanya secara tidak langsung juga mulai sadar edukasi," katanya.
Baca Juga: Dampingi SFH, Nola Be3 Pilih Limpahkan Tanggung Jawab Sekolah pada Anak
Saat ini sudah ada sekitar 30 warga di kampung tersebut yang kuliah di berbagai perguruan tinggi. Anak kampung tidak lagi berhenti setelah tamat SD. Kusnadi berharap akan lebih banyak lagi generasi di kampungnya yang berpendidikan tinggi.
"Biar kita yang tua-tua ini pendidikannya rendah. Yang penting adikku, anakku, generasi setelahku bisa sampai pada jenjang pendidikan yang tinggi biar mereka tidak kuper (kurang pergaulan), punya pengalaman luas, punya pendidikan yang lebih baik dan karir yang lebih baik juga," katanya.
Kusnadi memiliki keyakinan, solusi untuk memecah kemiskinan adalah dengan pendidikan. Berkaca dari pengalamannya yang hanya lulusan SMP, dia kerap ditolak saat mengajukan lamaran pekerjaan hingga akhirnya bekerja serabutan.
Kusnadi mengajarkan tari dan lukis kepada anak-anak di Gubuk Baca. Ilmu itu dia pelajari secara otodidak. Untuk pelajaran formal, Kusnadi menyerahkannya kepada para pendamping.
Baca Juga: Beberapa Tips Permainan dengan Anak untuk di Rumah dari Paddle Pop
"Saya awalnya terpaksa karena anak-anak di sini mau ke sanggar banyak yang tidak punya uang. Jadi mau tidak mau saya harus bisa nari. Harus bisa apapun supaya mereka minta apapun bisa saya turuti. Saya tidak bisa gambar, saya belajar, setelah saya bisa anak-anak tidak usah kemana-mana. Saya lesi saja," katanya.
Sampah rumah sebagai penopang Belum lama ini, Kusnadi terpikir memanfaatkan sampah untuk menopang biaya operasional Gubuk Baca. Anak-anak diminta mengumpulkan sampah yang ada di rumah mereka dan membawanya ke Gubuk Baca saat akan belajar di hari Minggu. Anak-anak yang suka dengan kerajinan tangan diajari membuat kerajinan dengan sampah tersebut. Misalnya mengolah sampah menjadi sebuah kerajinan ecobricks, repelika bunga anggrek, wadah pensil dan perhiasan.
"Minimal anak-anak bawa sampah dari rumah untuk mengurangi sampah di rumahnya," katanya. Hasil dari penjualan kerajinan tangan untuk membeli kapur tulis dan alat tulis lainnya untuk menunjang pembelajaran.
Sedangkan untuk buku, Gubuk Baca mendapat bantuan dari berbagai kalangan. Saat ini sudah terkumpul sekitar 300 hingga 400 buku yang bisa dipakai oleh anak-anak. Mulai dari buku pelajaran formal hingga buku yang berisi tentang cerita anak.
"Buku banyak dari kampus-kampus dan sekolah. Republik Gubuk juga mencarikan link untuk buku," katanya.
Baca Juga: Kabar Gembira! Nadiem Makarim Perbolehkan Dana BOS Dipakai untuk Beli Kuota Internet Guru dan Murid
Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.
Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Dulu Suka Mabuk, Mantan Preman Kini Dirikan Gubuk Baca agar Tak Ada Anak Putus Sekolah
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Ratih |
Editor | : | Dionysia Mayang Rintani |
KOMENTAR