“Karena (vaksin) ini kan protein-based, jadi lebih mudah untuk dibuat, untuk didistribusikan juga sangat mudah, karena kalau misalnya (vaksin) mRNA kan harus (disimpan pada suhu) dingin, terus vaksin yang lain juga harus dingin."
"Kalau yang ini bisa dikeringkan, jadi dilyophilized (pengeringan beku, red.), jadi bisa ringan juga untuk ditransfer ke mana-mana."
"Ditinggal di suhu ruangan satu-dua minggu juga enggak apa-apa,” paparnya.
Sebelum uji klinis terhadap manusia, tahap berikutnya adalah pengujian terhadap primata nonmanusia, dalam hal ini monyet.
Baca Juga: Hal yang Harus Dipersiapkan Jelang Vaksin Anak Usia 6-11 Tahun, Ibu Harus Tahu!
Doktor lulusan Massachusetts Institute of Technology (MIT) itu berharap dapat melakukannya di Indonesia.
Pasalnya, ia sengaja mengembangkan vaksin berbasis protein agar mudah diproduksi di Indonesia, yang sudah memiliki teknologi mapan untuk memanufaktur vaksin-vaksin berbasis protein.
“Pada akhirnya, saya harap vaksin ini nantinya bisa digunakan di Indonesia. Saya pikir sesuai rencana, pada intinya saya ingin menggunakan teknologi yang memang kapasitas manufakturnya sudah ada di sana."
"Itu sebabnya saya tidak begitu ingin meneliti (vaksin) mRNA, karena butuh waktu beberapa tahun untuk membangun kapasitas manufakturnya hingga berada pada skala yang diperlukan, karena di Amerika pun teknologi itu masih sangat baru.”
Baca Juga: Kemenparekraf Bersama Enesis Group Luncurkan Mobil Vaksin Keliling
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR