NOVA.ID – Tulisan Konsultasi Psikologi ini merupakan surat kiriman pembaca NOVA yang dijawab oleh psikolog Rieny Hassan.
TANYA
Assalamualaikum, Bu Rieny.
Saya seorang ibu rumah tangga, yang sedang pusing memikirkan putri saya. Anak saya mengutarakan ketidaksenangannya bila terlihat bersama ayahnya.
Sebenarnya dia anak baik, tidak nakal keterlaluan, tapi, dia sering ngambek kalau harus jalan berduaan dengan ayahnya.
Paling sedih kalau saya tak sempat menjemput dan ayahnya yang “berlari” jemput dengan motor, supaya anak kesayangannya tidak terlalu lama menunggu di sekolah.
Memang di sekolah dia tidak marah, di rumah pun hanya melotot-melotot pada saya, sambil berbisik keras mengutarakan ketidaksenangannya dijemput ayahnya.
Beberapa hari yang lalu ia mengancam akan bersembunyi di rumah temannya saja yang ada dekat sekolah, bila masih dijemput ayahnya.
Kalau saya tanyakan alasannya, ia akan mengatakan bahwa teman-temannya menanyakan apakah dia anak “preman”. Jangan-jangan nafkahnya didapat dari memeras orang atau malah memukuli orang.
Karena pada dasarnya dia memang tidak bergaul, saya lihat sensitivitasnya tinggi—mudah tersinggung.
Ini tidak seperti adiknya yang juga perempuan, tapi…
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Adik yang Aku Rawat Meninggal, Ibu Menghilang
Ini tidak seperti adiknya yang juga perempuan, tapi sangat dekat dengan ayahnya. Adiknya ini malah happy punya ayah seram, katanya. Teman-temannya jadi segan kalau mau menjahili. Padahal dia sendiri sangat jahil.
Suami saya pemilik usaha sewa truk dan pick up. Mobil kami tidak banyak, tapi alhamdulillah ada pelanggan yang menyewa berkala, sehingga bisa dibilang cukup sukses.
Penampilan suami saya memang bisa dibilang agak intimidatif, Bu. Cepak nyaris botak dan badannya gempal. Tapi, penampilan ini sebenarnya bukanlah bawaan sejak dulu.
Waktu muda, suami saya sangat keren. Bajunya necis, sepatu selalu disemir tiap hari, sama sekali tidak terlihat seperti karyawan menengah kantor kecil.
Suami mulai berubah ketika putri sulung kami lahir. Anak ini sempat kena penyakit yang butuh pengobatan serius dan biaya banyak.
Saya berhenti kerja waktu itu demi mengurus putri kami. Suami juga resign dari kantor, lalu menjadi sopir truk antarkota, yang pada waktu itu gajinya memang lebih tinggi ketimbang pekerjaannya di kantor.
Salah satu alasan suami jadi seperti tukang pukul yang wajahnya seram adalah supaya tidak diremehkan saat di jalanan.
Ini juga mengingat sebagai sopir truk, konon risikonya memang besar, entah dipalak atau dicuri muatannya kalau berupa sembako atau pisang. Kalau sudah terlihat garang, maling-maling itu biasanya takut.
Sekarang, alhamdulillah anak kami sudah sehat. Harus minum obat, sih, tapi itu pun terjangkau.
Suami yang mulai susah menyupir tanpa tidur, memulai bisnis sewa dan seperti saya bilang tadi, cukup sukses.
Masalahnya, putri kami malu…
Baca Juga: Alami 10 Gejala Psikologis Ini? Sudah Saatnya Kita Berani Konsultasi ke Psikolog, Tak Perlu Malu!
Masalahnya, putri kami malu karena ayahnya tidak keren, Bu. Untungnya, suami sendiri tidak pernah sakit hati dengan ulah putri itu. Tapi, kan tidak benar, ya, Bu. Padahal ayahnya, kan, jadi begini demi dia juga. Apa yang harus saya ajarkan pada dia, ya, Bu? Terima kasih.
Nani – Sumedang
JAWAB
Ibu Nani yang baik,
Salam hormat saya untuk suami ya, Bu. Betapa panjang jalan yang sudah ia tempuh untuk membuat keluarganya tegak berdiri—dan lebih penting lagi—mampu mengatasi tantangan yang muncul akibat si Kakak sakit dan butuh banyak biaya.
Dari cerita Bu Nani, saya melihat bahwa Bapak adalah tipe pekerja keras, tidak takut dan ragu mencoba hal baru demi meraih penghasilan yang cukup buat keluarga, dan tidak menempelkan harga dirinya pada “kerja kantoran”.
Saya yakin, Bu Nani bisa menambahkan banyak lagi aspek positif cerminan dari tanggung jawab dan cinta keluarga yang ada pada diri suami.
Termasuk ketika bersegera memacu sepeda motor demi agar anaknya tidak terlambat dijemput di sekolah.
Lalu, mengapa, kok, si Kakak malah mau sembunyi di rumah teman, supaya tak malu dijemput ayahnya? Sayang Bu Nani tak cerita, anak Ibu kelas berapa.
Usia Sensitif
Saya menduga usia anak Ibu sekitar kelas 5 SD sampai awal SMP. Mengapa demikian?
Baca Juga: MS Learning & Grow Resmi Hadir, Beri Layanan Konsultasi Psikologis
Karena di usia setara pendidikan akhir SD dan awal SMP, secara psikologis anak sensitif terhadap apa yang ia anggap sebagai tanggapan orang lain, utamanya teman seusia (peer group-nya).
Apalagi ditambah sensitivitasnya yang lumayan tinggi, sehingga apa yang kalau menimpa adiknya dianggap biasa saja, untuk si Kakak mampu menorehkan rasa tak nyaman yang mendalam.
Tahapan perkembangan di usia awal remaja, plus kecenderungan berperilaku yang tertutup, sukar bicara terbuka tentang diri sendiri, serta minim sahabat tempat bisa curhat, membuat masukan-masukan dari lingkungannya menjadi amat terbatas.
Kalau ia periang dan gaul, teman-temannya tentu leluasa “ngeledek”, misalnya, “Hooi.. preman jemputan sudah datang!” Dan dia pun senyum saja, karen secara objektif dia tahu ayahnya bukan preman.
Mengingatkan Tanpa Kecaman
Nah, dengan pemahaman ini, cobalah mulai melakukan pendekatan-pendekatan yang tidak berisikan nasihat dan kritik, apalagi kecaman tentang opininya terhadap ayah.
Mulailah dengan rajin mengingatkan anak, seperti saat ia sakit, apa yang ibu dan ayahnya lakukan, yaitu upaya kesembuhan yang bermakna dana yang tidak sedikit. Tapi tanpa kesan minta balas budi, ya.
Ceritakan juga bahwa ayahnya menukarkan kenyamanan kerja kantoran dengan jadi sopir truk, juga soal kemajuan bisnisnya.
Yang penting, jangan ada hari tanpa memasukkan ke dalam benaknya, betapa beruntungnya dia memiliki orang tua yang cinta padanya.
Pada saat bersamaan, ajak melihat sekeliling, di mana ada keluarga yang lebih berkekurangan, walau sudah kerja keras memenuhi tanggung jawab.
Juga ajak lihat teman yang kaya raya tetapi...
Baca Juga: Enggak Perlu ke Klinik Kecantikan, Konsultasi Online Bisa Membantu Rawat Kulit di Rumah!
Juga ajak lihat teman yang kaya raya tetapi jarang bertemu ayah yang supersibuk. Saat duduk makan malam ataupun nonton TV, angkat secara ringan saja betapa bahagianya Ibu melihat anaknya sudah tumbuh jadi gadis-gadis cantik.
Ajak Lihat Sisi Positif Ayah
Kemudian, sampaikan pula apa yang saya tulis di awal jawaban ini, dengan bahasa Bu Nani.
Menegur dia kalau ada kalimat negatif, sangat boleh, Bu Nani. Paling tidak dengan balik bertanya, “Apakah Kakak bisa melihat sisi kebaikan dan usaha Bapak untuk membuat Kakak dan Adik bisa sekolah, makan enak, dan hidup nyaman?
Rasanya, Bapak pantas lho untuk dilihat dari sisi berkeringatnya, bukan cuma gaya preman-nya. Lagipula, alasannya, kan, jelas. Dulu, memang harus begitu supaya tak diganggu di jalanan.
Bila Bu Nani konsisten memulai pembicaraan, berespons saat dia bersungut-sungut, mudah-mudahan putri Bu Nani mampu mengubah kerangka berpikir tentang cara melihat dan menilai ayahnya.
Pelan, tapi tetap konsisten mengarahkan anak Ibu untuk berpikir dari sudut pandang yang lebih positif.
Bagus sekali kalau Bu Nani bisa mendorongnya untuk mau lebih bergaul, mengajak teman-teman main ke rumah, masuk kelompok tari atau apa yang tersedia sebagai ekskul di sekolahnya.
Mudah-mudahan, pengalaman yang makin beragam akan membawanya pada sebuah pemahaman baru, bahwa selalu ada makna di balik sebuah peristiwa. Cari makna itu, agar tidak terjebak dalam opini, maupun penilaian yang hanya dilandasi penglihatan saja.
Salam manis, mudah-mudahan tahun 2023 membawa lebih banyak nikmat kebahagiaan dan kesehatan buat Bu Nani, Bapak, dan kedua gadis kesayangan.(*)
(Bila Anda ingin berkonsultasi dengan psikolog Rieny Hassan, silakan kirimkan kisah Anda ke email nova@gridnetwork.id dan tuliskan ‘Konsultasi Psikologi’ pada subjek email.)
Penulis | : | Made Mardiani Kardha |
Editor | : | Made Mardiani Kardha |
KOMENTAR