Mulai dari ketidaksiapan diri menjadi orangtua, masalah finansial dan ekonomi yang membuat khawatir tidak bisa memberikan fasilitas yang layak untuk anak, lingkungan yang tidak mendukung, ingin mengejar karier, hingga masalah mental dan trauma di masa kecil yang melukai psikologis seseorang hingga dewasa yang akhirnya bermuara pada keputusan childfree.
Tapi, tidak bisa dimungkiri bisa jadi ada orang-orang yang belum mempertimbangkan semua faktor lalu memutuskan untuk childfree.
“Memang paling baik dan bijaksana adalah menimbang semua faktor. Jadi, mengambil keputusannya bukan karena takut, bingung, atau karena tekanan dari mana-mana."
"Tapi, justru karena sudah mempertimbangkan berbagai faktor. Faktor pribadi, pasangan, keluarga, lingkungan, terutama faktor calon anak itu sendiri,” jelas psikolog klinis
anak dan Co-Founder Kalm ini.
Sebab, menurut Karina, pertanyaannya bukan lagi, “Mau punya anak atau tidak?”
Tetapi lebih mengarah kepada, “Siap menjadi orangtua atau tidak?” Setidaknya pertanyaan ini ditanyakan oleh kita kepada diri kita sendiri.
Ingat, menjadi orangtua dan punya anak itu dua hal berbeda, ya. Dalam istilah “punya anak”, mindset-nya adalah kita mendapat banyak hal: dapat keturunan, dapat senang-senang.
Namun, menjadi orangtua berarti kita bertanggung jawab atas kehidupan manusia lain. Makanya pertimbangannya harus matang.
“Jika setelah dipertimbangkan ternyata kita tidak siap atau tidak mau menjadi orangtua, itu juga bagus."
"Karena akhirnya tidak akan merugikan siapa-siapa. Toh, tidak ada yang harus di dunia ini terkait punya anak atau menjadi orangtua."
"Yang ada, boleh menjadi orangtua kalau siap dan mampu. Tapi tidak harus,” tutur Karina.
Baca Juga: Profil dan Biodata Gita Savitri, YouTuber yang Memilih untuk Childfree
KOMENTAR