Jika enggan, menolaknya harus dengan cara halus. Atau, buatlah kesepakatan bersama. Keseringan menolak bisa berujung balas dendam dari pasangan.
Siapa, sih, yang nggak jengkel kalau lagi enak-enaknya terbuai mimpi lalu dibangunkan hanya untuk berintim-intim? Hingga, yang terjadi adalah penolakan dengan nada mangkel, "Yang bener aja, dong. Aku, kan, capek dan mengantuk, nih!" Padahal, boleh jadi saat itu hasrat pasangan memang betul-betul menggebu dan tak bisa tertahankan lagi.
Iya, sih, kita memang perlu berusaha memakluminya, tapi bagaimana dengan "polusi" yang justru membuat kita jadi tambah tak bergairah? Bukankah saat tertidur biasanya mulut pun mengeluarkan bau tak sedap yang bisa mengganggu? Sementara untuk menjalani ritual bersih-bersih ke kamar mandi sebelum berintim-intim juga kaki terasa berat. "Ih..dingin," begitu kita berkilah.
Berbagai alasan penolakan semacam itu, menurut DR. Sukiat, sah-sah saja sepanjang tak menyinggung perasaan pasangan. Akan tetapi, "coba, deh, seandainya posisi tersebut kita balik. Bagaimana kalau kita yang meminta kesediaan pasangan untuk berintim-intim di tengah malam buta seperti itu, lalu dia menolak atau minimal menunjukkan sikap ogah-ogahan?"
Harusnya, lanjut Sukiat, masing-masing pihak mengapresiasikan ajakan pasangan. "Bukankah ajakan berintim-intim merupakan ekspresi rasa cinta dan kerinduan pasangan kepada kita? Dengan kata lain, pasangan masih membutuhkan kita sebagai partner." Soal waktu, lanjutnya, bisa kapan saja, kok, entah pagi, tengah hari bolong, sore, atau tengah malam buta sekalipun.
BALAS DENDAM
Menurut psikolog dari Fakultas Psikologi UI ini, seks adalah rekreasi. Jadi, seks seyogyanya dijalani sebagai sesuatu yang menyenangkan kedua belah pihak alias tak boleh ada satu pihak pun yang merasa tertekan atau terpaksa melakukannya.
"Sayangnya, secara kualitatif suamilah yang umumnya jadi pihak pengambil inisiatif, sementara mayoritas penolak adalah istri dengan berbagai dalih yang memang masuk akal tadi." Jika cuma sekali-dua kali ditolak, sih, mungkin tak mengapa. Namun bila keseringan atau tiap kali minta langsung ditolak mentah-mentah, "bukan tak mungkin, lo, suami bakal uring-uringan atau malah muncul bentuk-bentuk reaksi yang sama sekali tak diharapkan."
Bahkan, bisa berdampak lebih buruk dari itu semisal balas dendam dengan sengaja tak mau menyentuh istrinya sama sekali, atau malah memanas-manasinya dengan bikin affair di luaran. Celaka, kan? Soalnya, penolakan untuk urusan yang satu ini bisa dianggap sebagai penghinaan terhadap harga diri suami, lo!
AMBIL SISI BAIKNYA
Itu sebab, jika masalah ini dibiarkan berlarut-larut dan tak segera dipecahkan, "bisa jadi runyam karena minimal berujung pada ketidakpuasan pasangan yang memperbesar peluang terjadi perceraian." Soalnya, orientasi seks para suami memang lebih bersifat fisik. Artinya, bagaimana ia bisa ereksi sampai mencapai ejakulasi. Aspek lain di luar hal-hal tadi tak terlalu dipertimbangkannya. Sebaliknya, orientasi para istri biasanya lebih pada ungkapan cinta kasih yang psikis sifatnya, seperti bagaimana nyamannya dipeluk dan diyakini bahwa ia memang benar disayangi/dicintai.
Bagaimanapun, saran Sukiat, "sebaiknya keinginan pasangan untuk berintim-intim jangan langsung ditolak. Ambil sisi baiknya sajalah." Menurutnya, menyambut keinginan/permintaan pasangan untuk berintim-intim, sekalipun kita lagi nyenyak-nyenyaknya tidur, merupakan bunga-bunga perkawinan dan sarana rekreasi bersama. "Bukankah bila kedua belah pihak sama-sama menikmati, seks justru diyakini mampu melepas kepenatan atau tekanan keseharian?"
Jikapun terpaksa menolak, Sukiat menganjurkan agar kita mengemukakan hal yang benar-benar menjadi alasan, jangan malah terkesan mencari-cari alasan. Selain itu, sampaikan pula dengan cara santun agar tak menyinggung perasaan suami.
BERI ALTERNATIF
Bila kebutuhan masing-masing pihak dirasa tak terjembatani, saran Sukiat, tak ada salahnya suami-istri membuat konsensus. "Buatlah semacam perjanjian bersama. Misal, sebisa mungkin jangan menolak bila pasangan ingin berintim-intim tengah malam, atau tentukan hari-hari tertentu yang siangnya tak terlalu menguras energi mereka." Dengan begitu, saat tengah malam yang disepakati bersama tiba, mereka berdua sudah betul-betul siap, dari segi fisik maupun mental.
Jika cara ini bisa diupayakan, Sukiat yakin, kebutuhan pasangan untuk berintim-intim bisa terpuaskan sementara hubungan suami-istri pun tak terganggu. Soalnya, tak dapat dipungkiri seks merupakan salah satu penyangga utama keutuhan rumah tangga. "Nah, bukankah untuk menjaga keutuhan rumah tangga, kedua belah pihak harus melakukan berbagai upaya?"
Bila perlu, tambahnya, istri bisa memberikan alternatif pilihan bila memang kondisinya tak memungkinkan sementara si suami tetap menginginkan. Misal, ditunda esok malam atau setidaknya sampai pagi setelah energi si istri pulih kembali, atau istri tetap melayani tapi jangan salahkan jika memberi "servis" seadanya alias sambil terkantuk-kantuk. "Saya pernah, lo, bertemu pasangan seperti ini. Ternyata si suami, lantaran tak kuasa lagi membendung hasratnya, akhirnya memilih alternatif terakhir," tuturnya.
PENDEKATAN BERTAHAP
Sebetulnya, bilang Sukiat, sikap saling mengerti, mau bertenggang rasa, dan kesediaan menyelami arti kebersamaan merupakan bekal penting sekaligus kunci keberhasilan suami-istri untuk berintim-intim. Hingga, "tak ada kata lain selain keindahan jika di tengah keheningan malam, suami-istri bisa saling berbagi," tambahnya.
Namun, Sukiat mengingatkan agar para suami tak BTL alias Bapak Tembak Langsung, melainkan lakukan pendekatan secara bertahap alias jangan lupakan foreplay. "Dengan begitu, istri merasa dihargai, diperlakukan penuh kasih sayang dan dilindungi, lebih dari sekadar objek untuk mendapatkan kepuasan." Kendati demikian, ingatnya lagi, foreplay sebaiknya juga jangan terlalu lama. "Bisa-bisa pasangan malah mengantuk!"
Soal pemilihan waktu berintim-intim, menurut Sukiat, sepenuhnya berada di tangan suami-istri, yang biasanya disesuaikan kebutuhan dan kelonggaran waktu mereka. Kalaupun ada yang memilih malam, boleh jadi dianggap saat yang tepat karena malam praktis mereka tak lagi direpotkan oleh urusan pekerjaan maupun anak. Selain karena malam suasananya lebih tenang dan relaks, hingga mereka merasa lebih bisa menaruh konsentrasi pada aktivitas berintim-intim tanpa banyak "gangguan teknis". Khawatir ketahuan anak-anak, misal.
LEBIH SUKA PAGI
Sukiat melihat kecenderungan memilih waktu malam untuk berintim-intim sudah mengalami pergeseran karena mayoritas suami-istri jaman sekarang, terutama di kota-kota besar, adalah pasangan bekerja. Tak jarang jam kerja cukup panjang, ditambah lagi keruwetan lalu lintas yang membuat mereka meninggalkan rumah seharian. Begitu tiba di rumah malamnya, seolah energinya sudah terkuras habis. Yang ada di benak mereka cuma pikiran untuk istirahat dan tidur. Kalaupun muncul keinginan berintim-intim, mereka lebih suka menangguhkannya pagi hari saat kondisi tubuh dirasa sudah bugar kembali dan siap tempur.
Namun, tak sedikit pula yang tetap enggan melakukan aktivitas berintim-intim di waktu pagi. Soalnya, meski kondisi tubuh sudah bugar kembali, mereka justru cenderung terburu-buru alias harus bergegas memulai hari baru dengan setumpuk tugas yang sudah menanti. Berintim-intim di waktu pagi justru dikhawatirkan mengacaukan jadwal mereka. "Wah bisa-bisa bos marah besar karena aku telat ngantor!", contohnya.
Nah, agar tak telat berangkat kerja sementara hasrat berintim-intim pun bisa terpuaskan, tak sedikit pasangan yang memilih jalan tengah. Artinya, di waktu malam saat lelah, mereka hanya saling berpelukan dan membelai saja. Akan tetapi begitu tubuh kembali fit esok harinya, mereka bisa menuntaskan keinginan yang tertunda untuk berintim-intim tadi. Menurut Sukiat, cara semacam ini sah-sah saja ditempuh, bahkan dianjurkan. Toh, di saat kondisi tubuh capek, mereka hanya butuh rangsangan-rangsangan psikologis berupa belaian, pelukan atau sebatas ngobrol hangat seputar hal-hal romantis sebagai bekal perangsangan untuk esok hari.
Menurut Sukiat, tak sedikit kliennya yang wanita ternyata cenderung lebih menyukai aktivitas berintim-intim dilakukan di waktu pagi karena beban pikiran akibat kesibukannya seharian sudah jauh berkurang. Selain itu, "secara fisiologis, darah di sekitar penis akan membanjir saat pagi, hingga penis akan tegang karena kencang dan penuh. Tentunya kondisi ini lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak," terangnya.
LAKUKAN KESENANGAN PASANGAN
Yang penting, tandas Sukiat, kapan pun waktu yang dipilih, aktivitas berintim-intim seyogyanya ditujukan semata-mata untuk saling berbagi dan memuaskan pasangan. Bagi pasangan yang mengutamakan kebersihan, misal, menjelang tidur, toh, bisa mandi dan gosok gigi. Kalaupun suka, boleh saja berdandan dan memakai wewangian lebih dulu. Dengan begitu, ketika hasrat berintim-intim muncul di waktu malam, tak lagi merasa risih dengan segala macam bau-bauan yang mengganggu. Kendati tak sedikit pula suami-istri yang malah menyenangi bau khas/asli pasangannya.
Melakukan hal-hal yang disenangi pasangan adalah hal yang perlu dilakukan untuk mencapai kepuasan berdua. Sebaliknya, melakukan hal-hal yang merugikan akan membuat hubungan seks jadi hambar. Itu sebab, anjur Sukiat, hindari pula mengucapkan kata-kata yang sekiranya bakal menyinggung perasaan pasangan. Kalaupun pasangan belum mandi, hingga badannya masih lengket dan bau keringat, misal, tak perlu menolaknya dengan kasar ketika ia menunjukkan hasratnya berintim-intim. Toh, bisa dipilih kata-kata yang lebih menyenangkan dan pantas atau enak didengar, semisal, "Gimana kalau Papa mandi dulu biar segar? Kalau perlu Mama siapin air hangat, deh."
Jadi, berintim-intim sebetulnya bisa dilakukan kapan saja karena soal waktu hanya merupakan faktor pendukung. Yang terpenting justru suasana, kata-kata/komunikasi dan tindakan yang membuat pasangan merasa nyaman. Niscaya kehidupan rumah tangga akan bertambah hangat.
Yanti/nakita
KOMENTAR