Ketika pertama kali buka praktik, belum ada klien. Caraku meramal lewat teh adalah menyeduh teh dengan sedikit air. Setelah diminum dan klien menyebutkan dalam hati ramalan yang ingin ditanyakan, sisa air teh aku tumpahkan ke tatakan. Daun yang ada di dalam cangkir, akan kubaca. Muncul gambar yang akan dipakai meramal. Lalu, aku membacakan arti gambar itu. Kalau diputar-putar lagi, aku bacakan lagi artinya. Semua itu butuh konsentrasi tinggi.
Klienku adalah orang-orang yang datang ke sana. Selain teh, aku juga menggunakan kartu. Karena aku belum dikenal orang, kehadiranku di sana enggak terlalu dianggap. Meski sudah menunggu dari dari pagi sampai malam, tetap enggak ada yang datang ke aku. Aku merasakan bagaimana susahnya mencari uang di Jakarta. Kalau pun ada yang membayar, aku hanya dikasih Rp 10 ribu saja. Malah kadang ada yang enggak bayar, hanya bilang," Makasih Mbak." Padahal ngobrolnya sudah sampai 2 jam, kok, tega banget enggak kasih apa-apa. Hahaha. Ya sudahlah anggap saja aku lagi cari klien, deh.
Aku banyak dibantu teman baikku dari Semarang yang juga tinggal di Jakarta. Dia memberi tumpangan menginap di rumah mereka. Akhirnya aku bisa survive di Jakarta meski hidup dengan sederhana. Pokoknya, tahun 2005 adalah tahun kerja kerasnya aku, deh.
Peramal Cinta
Selama 5 tahunan aku merintis karierku sendiri. Aku banyak diminta majalah mengisi rubrik. Klienku tidak hanya orang biasa, tapi juga merambah ke pengusaha atau selebiritis. Ramalan yang mereka minta beragam, mulai dari usaha, jodoh, atau keluarga. Dukanya, kalau ada cerita klien yang bocor sampai ke media, aku suka dikomplain.
(Bersambung)
Noverita K. Waldan
KOMENTAR