Lulus SMA, aku meneruskan kuliah Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) Bandung, Fakultas ISIP jurusan Hubungan Internasional angkatan 1992. Sebenarnya aku enggak mau pindah ke kota ini, tapi yang namanya takdir, aku enggak bisa menghindarinya.
Selain jauh dari Mama, sesungguhnya aku malas mengikuti pelajaran karena jiwaku masih mencari. Aku juga enggak suka segala sesuatu yang sifatnya monoton, karena aku seperti seniman, yang enggak suka aturan.
Saat masih kuliah, aku justru bertemu suami. Sebenarnya, setahun sebelum pindah ke Bandung, aku pernah bilang ke Mama, aku sudah bisa melihat siapa suamiku, namanya, dan rambutnya gondrong. Suamiku adalah seorang arranger, cerdas, dan jenius. Ketika orang belum mengenal electro music, dia sudah bisa bikin begitu. Sayangnya, aku tidak bisa menjadi istri yang baik. Tiba-tiba, malam hari aku bangun dan teriak-teriak, aku tahu pasti suamiku merasa aneh dan tersiksa. Sejuta pertanyaan ada di otaknya.
Apalagi, saat itu, suamiku masih muda sekali. Suamiku sulit menerima keanehan tadi, namun aku juga enggak bisa menyalahkan dia. Aku sadar kami berbeda, dan dia tidak menemukan orang yang tepat sesuai keinginannya. Aku juga enggak bisa melayani suami dengan baik dan mengabdi buat dia. Kekuranganku banyak dan aku sadar sebaiknya memang kami berpisah saja. Padahal, kami menikah cukup lama, sampai 12 tahun.
Aku sadar, dia bukan jodohku. Aku dikembalikan ke Mama karena aku dianggap enggak normal. Ya sudahlah, enggak apa-apa, itu, kan, hak dia. Kami pun berpisah dengan damai. Dari pernikahan itu, aku dikarunia anak, Muhammad, yang saat ini tinggal bersama Mama. Sifat anakku penyendiri, halus, senang meditasi, dan punya kelebihan sepertiku juga. Sekarang hubunganku dengan mantan suami baik, bahkan aku bersahabat baik dengan istrinya.
Pindah Ke Jakarta
Suatu hari, aku mendapatkan "penglihatan". Sesuai dengan salat Istikarah yang aku jalani, aku harus pindah ke Jakarta. Padahal, aku enggak suka kota Jakarta, karena ramai, berisik, dan macet. Bayangan kota kecil seperti Bandung atau Semarang lebih menarik perhatianku. Tapi setelah perceraian, aku sempat bingung. Apalagi aku punya anak, aku harus mencari pekerjaan buat menghidupi dia.
Sebelum ke Jakarta, terlebih dulu aku menitipkan anakku di Semarang bersama Mama. Aku terpaksa harus meninggalkan anakku karena aku harus mandiri, mencari sesuatu yang bisa membuatku bangkit kembali. Sesaat setelah tiba di stasiun Gambir, aku bengong, enggak tahu harus ke mana, luntang-lantung di Jakarta. Pokoknya enggak ada gambaran sama sekali mau ngapain.
Di Jakarta pun aku enggak punya siapa-siapa. Aku malah bingung enggak tahu mau ke mana. Saat berada di taksi, kebetulan aku membaca sebuah majalah wanita, yang di dalamnya ada artikel tentang Tea Addict, sebuah tempat yang menyediakan beragam jenis teh. Aku pun berpikir, apa mungkin aku bisa meramal pekerjaan di sana sebagai peramal teh? Tiba-tiba aku teringat Nenek yang mengajarkanku meramal dengan teh.
Bolak balik aku baca majalah itu, ketemunya tempat itu lagi. Waktu muter-muter dengan taksi, eh, kembalinya ke sana juga. Ada keraguan dalam hatiku, karena aku enggak pernah mempraktikkan ramalan dengan media teh. Tapi jalannya memang sudah ke sana, tiba-tiba taksi sudah sampai di Tea Addict, aku memberanikan diri mencoba keahlianku itu.
Akhirnya aku melamar kerja dan melalui tes dulu. Meski belum pernah praktik, tiba-tiba saja ada energi, langsung saja nyambung. Mungkin Nenek sudah menurunkan energinya ke aku. Aku disuruh kembali seminggu setelahnya, tapi karena enggak ada saudara terpaksa aku kembali ke Semarang. Syukurlah akhirnya aku diterima kerja di tempat itu.
Ketika pertama kali buka praktik, belum ada klien. Caraku meramal lewat teh adalah menyeduh teh dengan sedikit air. Setelah diminum dan klien menyebutkan dalam hati ramalan yang ingin ditanyakan, sisa air teh aku tumpahkan ke tatakan. Daun yang ada di dalam cangkir, akan kubaca. Muncul gambar yang akan dipakai meramal. Lalu, aku membacakan arti gambar itu. Kalau diputar-putar lagi, aku bacakan lagi artinya. Semua itu butuh konsentrasi tinggi.
Klienku adalah orang-orang yang datang ke sana. Selain teh, aku juga menggunakan kartu. Karena aku belum dikenal orang, kehadiranku di sana enggak terlalu dianggap. Meski sudah menunggu dari dari pagi sampai malam, tetap enggak ada yang datang ke aku. Aku merasakan bagaimana susahnya mencari uang di Jakarta. Kalau pun ada yang membayar, aku hanya dikasih Rp 10 ribu saja. Malah kadang ada yang enggak bayar, hanya bilang," Makasih Mbak." Padahal ngobrolnya sudah sampai 2 jam, kok, tega banget enggak kasih apa-apa. Hahaha. Ya sudahlah anggap saja aku lagi cari klien, deh.
Aku banyak dibantu teman baikku dari Semarang yang juga tinggal di Jakarta. Dia memberi tumpangan menginap di rumah mereka. Akhirnya aku bisa survive di Jakarta meski hidup dengan sederhana. Pokoknya, tahun 2005 adalah tahun kerja kerasnya aku, deh.
Peramal Cinta
Selama 5 tahunan aku merintis karierku sendiri. Aku banyak diminta majalah mengisi rubrik. Klienku tidak hanya orang biasa, tapi juga merambah ke pengusaha atau selebiritis. Ramalan yang mereka minta beragam, mulai dari usaha, jodoh, atau keluarga. Dukanya, kalau ada cerita klien yang bocor sampai ke media, aku suka dikomplain.
(Bersambung)
Noverita K. Waldan
KOMENTAR