Namun karena Anda punya cinta menggebu dan harapan yang tinggi, saat itu, sekali lagi, saat akan menikah dulu, Anda berharap bahwa sejalan dengan bergulirnya perkawinan, suami akan berubah menjadi giat cari uang dan mau bekerja lebih keras.
Sayangnya, ada laki-laki yang watak dasarnya bukan fighter (pejuang), melainkan tipe pleaser (penikmat). Dia bukan sosok yang gigih dan mau lelah mencari uang untuk keluarga. Ia lebih memburu kesenangan hidup dengan bersantai-santai saja.
Kawin dengan lelaki seperti ini tidak harus berakhir dengan perceraian. Namun, istrinya memang harus jadi penyeimbang yang gigih, sehingga ciri fighter lekat pada dirinya. Maka, kalau Anda bisa mengambil alih tugas dan tanggung jawab menafkahi keluarga, perkawinan mestinya bisa tetap berlangsung.
Namun, perkawinan sehat tentunya berisikan suami dan istri yang mau mengembangkan kualitas diri secara berkesinambungan untuk membuat dirinya lebih pandai, pasanganya lebih bijaksana, dan anaknya punya lingkungan tumbuh kembang yang baik, bukan? Maka, dalam perjuangan untuk hidup tadi, hal-hal ini juga harus terpenuhi.
Banyak bicara dari hati ke hati, saling mendukung kemajuan pasangan, memberi pujian kalau terlihat dia sudah berusaha keras, mengingatkan dengan tetap ada hormat pada pasangan bahwa dia belum "keluar keringat" alias belum optimal bekerja, adalah hal-hal positif yang terus-menerus harus dijadikan warna dalam inter aksi suami dan istri.
Sayangnya, saat suami terlihat santai dan malah lari dari tanggung jawab, hati Anda yang marah, kemudian mengeluarkan kata-kata tajam yang menggarisbawahi ketidakmampuannya. "Malas banget, sih? Kalau tidak kerja, siapa yang mau kasih uang, memangnya enggak malu minta sama bapak ibuku terus? Uang dari Mas cuma cukup buat bayar PAM, tauuu?" Akhirnya, Anda berubah menjadi sumber ketidaknyamanan suami dan reaksi yang sangat wajar yang terjadi, menjauh saja.
Apa boleh buat, Jeng, saya harus katakan bahwa kalau Anda mau terus, jadikan diri Anda seorang fighter, sambil membuat suami mendekat dan beri ia perasaan bahwa Anda menerima dia apa adanya. Bila hubungan sudah mulai diwarnai oleh kedekatan, hormat, serta cinta kasih yang melimpah, mulai, deh, dengan program peningkatan keualitas diri seperti yang saya ceritakan. Kali ini dengan kemasan yang positif, ya?
Kepribadian seperti suami itu butuh pengakuan, butuh pujian, karena dia memang tidak pede abisss! Baru setelah ia percaya bahwa dirinya mulai berharga di hadapan istrinya, lalu menikmati pujian dan penghargaan juga banyak tidak enaknya, kok. Pelan tapi pasti akan tumbuh keinginan untuk terus meningkatkan kompetensinya sebagai suami dan ayah. Nah, kesabaran dan ketulusan untuk tidak berpura-pura adalah kunci utama agar Anda bisa bertahan sebagai fighter.
Bila rasanya ini menjadi beban berat bagi Anda, sudah waktunya bagi Anda untuk memikirkan memastikan status Anda sebagai janda. Karena sebetulnya, kalau Anda beragama Islam, tiga bulan ia tak menafkahi Anda lahir batin, Anda sudah bisa menggugatnya. Aduh, coba lagi, deh, ya? Bercerai juga banyak tak enaknya kok, Bu Galau.
Kesepian sebenarnya bersumber pada perasaan ketiadaan teman, bukan? Lihat diri Anda, apakah Anda punya teman dalam hidup Anda? Teman SD, SMP, SMA, mahasiswa, bahkan sesama orangtua murid di sekolah anak Anda? Bina hubungan dengan mereka dan hidup Anda pasti akan penuh warna.
Lihat sekeliling kita saat ini, demonstrasi di mana-mana pertanda keresahan BBM mau naik. Saya mau katakan, kalau kita hanya tergantung pada satu hal, maka begitu hal tadi akan berubah atau sudah berubah, goncangannya terasa kuat banget. Kita ribut, karena rasanya tak ada energi alternatif, bukan? Bangsa kita belum terbiasa dengan apa yang disebut energi baru atau terbarukan. Maka, ini sedang digalakan oleh Kementerian ESDM.
Nah, hidup pribadi juga begitu. Kalau suami kita anggap faktor satu-satunya yang mampu mengatasi kesepian, maka rasa takut kehilangan akan membuat kita selalu ragu bersikap. Coba juga, deh, untuk belajar, bukan mengganti suami dengan yang baru atau terbarukan, lebih aktif membina persahabatan dengan lebih banyak teman. Pastilah keceriaan akan datang pada diri Anda. Lalu, ketika sudah banyak energi positif dalam diri, Anda juga tak cepat-cepat merasa tak berdaya saat menghadapi suami.
Saya saja sampai hari ini masih berhubungan dengan penuh tawa dan canda dengan teman-teman SMA yang sebenarnya secara fisik sudah berpisah lebih 30 tahun, Bu Galau. Tapi, saat kami tertawa dan saling melecehkan dalam canda, perasaan bahwa kita jadi tua tetapi tetap ceria, sangat besar dukungan positifnya untuk membuat diri merasa tidak sendirian menjadi tua di dunia ini. Oke, Bu Galau tersayang, cheer up your day, ya? Cerialah dan rumput di halaman rumah, bunga, dan pohon yang Anda tanam, akan ikut tersenyum dan mengirimkan energi positif pada Anda.
KOMENTAR