Agar tidak terjerumus lebih jauh, sebetulnya kita pun masih bisa merasakan sekaligus menyadari kala lupa diri. Tentu saja asalkan kita cukup peka dan tetap memiliki pemahaman terhadap diri sendiri. Sebab, seseorang bisa dikatakan lupa diri bila dalam dirinya terjadi perubahan konsep yang melenceng atau keluar dari ciri kepribadiannya. Bisa saja akibat tuntutan terhadapnya lebih besar atau karena sebab lain.
Padahal, ciri kepribadian yang diantaranya memuat nilai-nilai kehidupan sudah tertanam begitu kuat dalam dirinya. Hingga boleh jadi agak sulit terkikis, meski peluang untuk berubah tetap ada. Siapa pun, selain pasangan, sebetulnya bisa mengingatkan. Hanya saja penilaian obyektif umumnya dapat diharapkan fair bila datang dari keluarga dekat atau teman. Siapa yang mengingatkan, biasanya adalah mereka yang merasa berkepentingan dan merasa "dirugikan" karenanya. Sebab, secara halus, sebetulnya si orang lupa diri kerap diperalat oleh lingkungan yang ingin memanfaatkan uang dan status atau kedudukan sosialnya.
Hanya saja mereka yang lupa diri biasanya merasa diri selalu benar, hingga masukan dari orang lain kerap dianggap angin lalu saja. Itulah mengapa diperlukan kehadiran seseorang yang cukup berwibawa sekaligus bisa dipercaya oleh si lupa diri tadi. Dengan begitu, yang bersangkutan diharapkan bisa berubah. Kalaupun tidak mempan, biasanya akan terubah oleh masyarakat lingkungannya lewat hukuman, seperti disingkirkan atau diejek yang membuatnya mentok dan akhirnya tersadar.
DAMPAK PADA BALITA
Dampaknya pada balita, tergantung dari ada-tidaknya secure parent. Artinya, meski ada kekurangan atau ada contoh yang tidak baik tapi bisa dinetralisasikan. Dengan begitu bila si bapak yang menjadi sosok si lupa diri, si ibu diharapkan bisa tampil sebagai sosok penetralisir. Begitu juga sebaliknya. Bukan malah menjelek-jelekkan pasangan di hadapan anak, "Dasar, Bapak/Ibumu enggak tahu diri, tuh!" Kita harus menyadari bahwa tokoh ayah maupun ibu adalah dua tokoh yang harus sama-sama paling dekat dengan anak. Sekaligus jadi contoh untuk ditiru, baik sebagian maupun seluruh kepribadiannya. Kalau modelnya tidak baik, jangan terlalu berharap anak bisa memperlihatkan kepribadian baik.
Kalaupun keduanya jadi lupa diri, diharapkan ada orang lain yang jadi sosok pengganti. Sepanjang ada figur pengganti yang baik, akan lebih baik dibandingkan tidak ada sosok pengganti sama sekali. Jadi, yang menderita paling parah adalah anak yang kedua orang tuanya sama-sama lupa diri dan tidak memperoleh sosok pengganti yang positif. Meski tidak bisa diprediksi kelak mereka akan memiliki kepribadian seperti apa, "Tapi yang jelas kepribadian mereka jadi tak harmonis. Dampaknya bisa macam-macam, entah terkait dengan studi, sosialisasi, maupun karakteristik yang tidak baik, seperti mencuri, terlibat narkoba, dan kenakalan."
Apapun, pembentukan kepribadian yang stabil merupakan hal yang penting sekaligus dapat menjamin berkurangnya efek negatif dari si "virus" bernama lupa diri tadi. Hingga, tetap harus ditanamkan pengertian pada anak untuk selalu eling. Terutama saat ia memasuki masa-masa peka, yakni masa balita dan remaja.
Th. Puspayanti.
KOMENTAR