Jika mendesak, boleh saja, kok. Tapi, ya, jangan keterusan. Jangan lupa pula bicarakan hal ini dengan pasangan.
Sesekali tentu Anda pernah juga melakukannya atau justru sering? Memang ada berbagai alasan, kenapa seseorang suka atau tak suka membawa pekerjaan kantor ke rumah. Bisa sambil mengawasi anak, misalnya. Apalagi, anak pun biasanya lebih suka jika sosok kita ada di dekatnya. "Anak jadi merasa lebih tenang kalau lihat ibunya ada di rumah," kata Dra. Ratna Djuwita, Dipl. Psych. Di samping itu, ibu juga bisa sekaligus memantau urusan rumah tangga, semisal memberi tahu pembantu harus ini dan itu.
Tentu saja jenis pekerjaannya bukan yang memerlukan ruang tersendiri serta konsentrasi penuh seperti menghitung atau menyusun program. Kecuali jika yang bersangkutan bisa tetap berkonsentrasi dan kerja maksimal kendati harus sekaligus mengawasi si kecil.
LIHAT URGENSI
Kendati begitu, sangat bijaksana jika kita menimbang dulu urgensinya sebelum membawa pekerjaan kantor ke rumah. "Apa sebegitu pentingnya hingga harus dibawa ke rumah? Sebab, kalau keterusan justru bukan merupakan gaya hidup yang sehat, baik secara fisik maupun mental.
Belum lagi kemungkinan pekerjaan tercecer. Hasil ulangan murid-murid yang harus dikoreksi, misalnya, ada yang terselip entah di mana. Kan, kasihan si murid?
Yang jelas, ujar psikolog dari Universitas Indonesia ini, secara psikologis akan terasa lebih ringan jika pulang dari kantor, pekerjaan sudah benar-benar habis. "Minimal, kita bisa istirahat, tak dipusingkan urusan kantor setelah tiba di rumah. Beda kalau di rumah masih memikirkan, besok harus menyusun proposal seperti apa "Secara mental, berarti kita tidak istirahat."
Jadi, kalau sesekali saja, tak apa membawa pekerjaan kantor ke rumah. Itu pun dengan catatan, karena keadaan benar-benar mendesak. "Justru kita harus membiasakan diri untuk tidak membawa pekerjaan kantor ke rumah. Caranya, ya, harus pandai membagi waktu dan berani mengatakan 'tidak' jika jam kerja sudah habis. Enggak perduli pekerjaannya sudah selesai atau belum, kalau sudah waktunya pulang, ya, sudah."
Di sisi lain, perlu pula membiasakan diri membuat target. Misalnya, harus selesai jam sekian. "Jadi, kita pun tidak membuang-buang waktu untuk ngerumpi atau sekadar bercanda."
TAK CUKUP LEWAT TELEPON
Celakanya, malah banyak yang merasa tidak rugi kalau kehilangan waktu untuk keluarga. "Banyak, kan, yang bilang, "Yang lebih penting, kualitas komunikasi". Tak ada salahnya, memang. Tapi tidak akan ada kualitas tanpa kuantitas." Jadi, lanjut Ratna, kalau orang tua berujar, "Saya berhubungan terus dengan anak lewat handphone." Jangan lupa, handphone hanya sebatas untuk keperluan informasi. Misalnya menanyakan kegiatan anak.
Yang jelas, tandas Ratna, sebagai manusia, hubungan tak saja dibangun dari jauh tetapi perlu kedekatan secara fisik. Manfaaatnya, ya, untuk mempererat hubungan anak dengan orang tua. "Bagaimana anak bisa dekat kalau enggak pernah bertemu?"Misalnya, saat makan malam berama, si anak bercerita tentang temannya yang absen karena sakit. Beberapa hari kemudian, jika si ibu menanyakan kabar si teman, tentu anak akan berpikir, "Oh, berarti Mama memperhatikan ceritaku."
KOMENTAR