Mengajar anak untuk menjadi wirausaha (entrepreneur) sebetulnya bisa dilakukan sejak usia anak masih dini. "Tapi, kalau mau efektif, sebaiknya di usia 8-12 tahun. Kalau usia lebih kecil, materi yang dimasukkan tidak bisa terlalu banyak, meskipun dasarnya tetap bisa diberikan," kata Ferdinand M. Latuperisa, Director YoungBiz Indonesia.
Dunia entrepreneurship memang masih merupakan hal baru di Indonesia. Ferry juga mengutarakan bahwa yang harus diubah adalah mind set orang-orangnya dulu. "Orangtua kita dulu, kan, tidak pernah pengin anaknya jadi pengusaha. Mereka pasti ingin anaknya sekolah yang rajin, nilainya bagus, yang ujung-ujungnya supaya dapat sekolah yang bagus. Kalau lulusan sekolah bagus, katanya bisa kerja jadi pegawai dengan gaji besar atau jadi PNS. Tidak pernah mereka menanamkan mind set jadi pengusaha," ujarnya.
Padahal, lanjutnya, kemakmuran sebuah negara ditentukan salah satunya dari jumlah pengusahanya. "Minimal jumlah pengusahanya 2 persen. Di Singapura, jumlah pengusahanya 7,2 %, AS 11 %, sementara Indonesia masih 0,18%. Yang tinggi justru tingkat penganggurannya. Padahal, sekarang bukan lagi saatnya menjadi job taker, tapi jadi job maker," lanjut Ferry seraya mengambil analogi mobil matic. "10 tahun lalu, orang masih mikir mau membeli mobil matic. Yang katanya ribet, lah. Tapi sekarang, semua mobil baru pasti ada versi matic-nya."
Yang melegakan, sekarang mulai banyak muncul pegusaha muda yang sukses. "Tidak ada istilah terlalu muda untuk menjadi pengusaha. Seseorang butuh 10 ribu jam supaya menjadi mahir, itu berarti sekitar 5 tahun. Nah, langkah baiknya kalau anak-anak memulai 10 ribu jam terbangnya sejak usia dini," jelas Ferry.
Modal sampai Skill
Banyak hal yang bisa diajarkan mengenai entrepreneurship. Mulai dari pengenalan konsep-konsep dasar pengelolaan keuangan dan know-how untuk memulai suatu usaha berdasarkan minat dan bakat. Selain itu, life-skills anak juga diasah, misalnya skills di bidang komunikasi, problem-solving, manajemen waktu, mengambil keputusan, dan public speaking.
Akan tetapi, yang paling penting adalah mind set orangtuanya harus diubah lebih dulu. Setelah itu, anak diberikan edukasi supaya terbiasa dan tahu. Memulai bisnis harus dimulai dari pengambilan keputusan. "Yang membedakan pengusaha dengan karyawan biasa adalah keputusan untuk memulai usaha. Dan, ketika seseorang sudah punya anatomi pengusaha, mau bikin apa saja juga pasti jadi," lanjut Ferry sambil mencontohkan Johnny Andrean yang sukses membuka bermacam usaha.
Di YoungBiz, pengajaran bisnis dilakukan dengan permainan. Misalnya soal budgeting. Anak diberi skema bahwa mereka memiliki uang tertentu, dan uang itu harus cukup untuk makan di kantin selama seminggu. Anak akan memilih dan menentukan, hari Senin menunya apa, Selasa apa, dan seterusnya. Tujuannya adalah uangnya harus cukup. Hasilnya, ada yang hari Rabu uangnya sudah habis, ada yang masih sisa, dan sebagainya. "Di situ kita masukin tentang cara memeroleh uang dan penggunaannya. Ini sangat membantu orangtua. Sehingga ketika anak diajak jalan-jalan ke mal dan minta sesuatu tidak dibelikan, mereka tahu bahwa itu tidak masuk dalam rencana pengeluaran. Akhirnya mereka mengerti tentang konsep budgeting," ujar Ferry.
Konsep lain yang dikenalkan misalnya tentang pentingnya skill untuk memeroleh uang. Anak-anak harus tahu bahwa dengan skill, mereka bisa memeroleh uang lebih banyak. Di YoungBiz, dipakai modul "You Got Talent". Misalnya, anak yang bisa melompat 10 kali dapat 1 permen. Anak yang mampu menyanyi dengan baik dapat 15 permen.
"Nah, anak yang dapat permen hanya dengan melompat pasti akan iri dan bertanya. Di situ kita masukin konsep skill. Jadi, kita tetap menganggap sekolah penting untuk memperoleh skill," ujar Ferry yang tengah berupaya memasukkan entrepreneurship ke dalam kurikulum sekolah.
Mengatasi Tekanan
KOMENTAR