Jangan mimpi bisa menyingkirkan anak-anak pasangan. Kalaupun terjadi, artinya kita menanam bibit-bibit perpecahan perkawinan.
Kesediaan menikah tentulah harus dibarengi komitmen dan ketulusan hati untuk menerima pasangan apa adanya, termasuk "rombongan"nya sebagai kesatuan yang tak bisa dipisah-pisahkan. Jadi, tegas, Dra. Dharmayati Utoyo Lubis, MA, Ph.D., apa pun pertimbangannya, jika sudah memutuskan menikah dengan duda/janda berbalita, berarti kita harus pula menerima anak-anaknya.
"Meski bukan darah daging sendiri, ia tetap menjadi anak yang wajib kita sayangi sepenuh hati, bahkan sama porsi sayangnya dengan anak yang kemudian lahir."
Terlebih lagi, anak-anak inilah yang pegang kata kunci dalam perkawinan kita dengan ayah/ibunya. Soalnya, mereka yang kehilangan pasangan, entah karena cerai hidup atau meninggal, "biasanya akan dibebani rasa bersalah hingga amat protektif pada anak-anaknya. Apalagi jika pasangannya meninggal, ada tambahan rasa kasihan pada anak-anak tadi," terang Yati, sapaan akrab psikolog ini.
Itu sebab, yang bersangkutan akan mencurahkan perhatiannya pada anak-anak. Hingga, pertimbangan/keputusan menikah lagi biasanya lebih ditujukan untuk kepentingan anak-anak semata.
Jadi, jangan pernah berangan-angan bisa menyingkirkan anak-anak tersebut begitu kita resmi menjadi pasangan hidup ayah/ibunya. Jikapun bisa, paling cuma sementara waktu dan dirasakan sebagai beban berat oleh si anak maupun ayah/ibunya. Namun sebaiknya tak usahlah bersikap seperti itu. Ingat, kita harus menerima pasangan apa adanya.
Lagi pula, menyingkirkan anak tiri sama saja dengan menanam bibit-bibit perpecahan bagi perkawinan kita sendiri. Bukankah pasangan kita akan diliputi oleh rasa sesal yang dalam karena menyingkirkan anak-anak kandungnya? Nah, siapa, sih, yang bakalan tahan hidup dalam tekanan terus-menerus? Kalau sudah begitu, konflik pun muncul dan bukan tak mungkin diakhiri perceraian karena dia pasti akan lebih berat kepada anak-anaknya.
BERSAHABAT DENGAN IBU/BAPAKNYA
Selain wajib menerima anak-anak dari pasangan, kita pun pantang melarang mereka ketemu ibu/bapaknya. Ingat, lo, tak ada yang namanya bekas ibu/bapak maupun bekas anak. Kewajiban kita cuma memberikan cinta dan perhatian tulus kepada mereka, serta menghormati hak mereka untuk memiliki kedekatan dengan ibu/bapaknya. Lagi pula, apa hak kita melarang mereka ketemu ibu/bapaknya? Wong, itu ibu/bapak kandungnya, kok. Bahkan, sekalipun ibu/bapak mereka "jahat", kita tetap wajib menanamkan pada mereka untuk mencintai dan menghargai ibu/bapaknya.
Kita pun tak dibenarkan menyingkirkan foto ibu/bapaknya. Bukan berarti kita harus membiarkan foto tersebut tetap menghiasi seluruh dinding rumah, lo. Artinya, kita boleh saja keberatan dengan keberadaan foto tersebut, tapi kita pun harus bersikap bijak dengan tak mempetieskannya. Toh, foto tersebut bisa ditaruh di kamar anak. Nah, agar tak menyinggung perasaan si kecil, mintalah bantuan pasangan untuk menjelaskan secara baik-baik pada anak mengapa foto tersebut dipindahkan ke kamarnya. Dengan begitu, si kecil bisa tetap "bertemu" ibu/bapaknya kala ia tiba-tiba rindu. Kendati masih balita, si kecil juga punya rasa kangen, lo.
Dalam kaitan ini, Yati malah menganjurkan, alangkah baiknya bila kita menjalin hubungan hangat dan bersahabat bak kawan lama dengan ibu/bapak si kecil. Manfaatnya banyak, lo. Kita jadi tahu bagaimana karakter si anak, termasuk apa kesukaannya, hingga bisa memberikan yang terbaik untuknya dan melakukan pendekatan yang lebih tepat. Bukankah cuma si ibu/bapak yang tahu persis anaknya? Selain, pasangan kita tentu. Namun paling tidak, dengan tercipta persahabatan, kita telah memberikan situasi kondusif pada anak, yang jelas amat besar pengaruhnya buat tumbuh kembangnya.
Memang, belum tentu si ibu/bapak berkenan menerima uluran persahabatan kita. Malah, tak sedikit, lo, yang menganggap kita sebagai musuhnya. Hingga bisa terjadi, kita malah ditolak mentah-mentah. Bila demikian, ya, sudah, tak perlu diambil hati. Toh, kita sudah berusaha. Ya, kan? Yang penting, jangan sampai penolakan tersebut mempengaruhi sikap kita pada anak-anak. Ingat, lo, mereka enggak salah apa-apa.
KOMENTAR