Justru istrinyalah yang menjadi korban tindak kekerasan dari si suami karena, seperti telah diuraikan di atas, si suami merasa eksistensinya mulai luntur dan kehilangan peran yang memberinya power. Tapi coba kalau si istri yang tak berpenghasilan sehingga bargaining position-nya lemah, ia akan mudah sekali menjadi korban tindak kekerasan dari sang suami. Tapi, toh, kita juga perlu memahami mengapa lelaki atau suami yang lebih sering melakukan tindak kekerasan terhadap pasangannya dibanding istri. Pasalnya, hidup lelaki itu sendiri sangat keras.
"Dia mungkin dihina-hina di kantornya sementara di rumah harus bertindak sebagai kepala keluarga. Memang, bukan berarti hal ini sebagai pembenaran untuk dia berlaku sewenang-wenang. Tapi bahwa hidupnya keras, kita tak boleh menutup mata begitu saja. Seringkali dia diharapkan menunjukkan perfomance-nya jauh di atas kemampuannya sendiri hanya karena dia lelaki dan kepala keluarga. Nah, keadaan inilah yang membuat lelaki bersikap lebih keras dibandingkan perempuan," tutur Irwanto.
Namun dalam kapasitas sebagai orang tua, persoalan gender tampaknya tak terlalu mencolok. Baik ayah maupun ibu sama-sama "berpotensi" untuk melakukan tindak kekerasan terhadap anak karena hubungan antara anak dan orang tua bersifat nonegaliter.
"Dalam interaksi antara anak dan orang tua, umumnya posisi anak ditempatkan pada subordinat yang bukan saja tak memiliki hak bicara, tapi juga kerap dirugikan akibat tindakan orang dewasa di sekitarnya," terang Irwanto. Misalnya, kala anak mencoba membantah perkataan orang tua, sering orang tua kemudian memperlakukan anak secara kasar dengan harapan anak akan jera dan kembali pada sikapnya sebagai anak penurut.
Bahkan, seringkali anak menjadi korban ayah dan ibu secara bersamaan. "Kalau ibu dimarahi ayah dan ia tak berani melawan, maka sebagai protes, ia melampiaskan ketidakberdayaannya pada anak." Apalagi, dalam setiap konflik, yang mendominasi adalah pihak paling powerful. "Boleh dibilang, anak berada pada pihak yang paling powerless, kalah," tandas konsultan pada Komisi Nasional Perlindungan Anak ini. Yang paling celaka adalah anak perempuan.
"Dalam komunitas yang mengedepankan nilai-nilai patriakis, anak perempuanlah yang lebih berpotensi menjadi sasaran pertama tindak kekerasan karena anak perempuan biasanya ditempatkan sebagai warga kelas dua. Hak-hak anak perempuan seolah seperti hak ibunya, tempatnya hanya di belakang. Akibatnya, pada saat terjadi kekerasan, seringkali mereka yang menjadi korban duluan," lanjut Irwanto. Anak perempuan juga yang paling sering mengalami tindak kekerasan seksual lebih banyak dibandingkan anak lelaki.
TAK PERCAYA DIRI
Namun, apapun penyebabnya dan siapapun korbannya, tindak kekerasan selalu menimbulkan dampak pada sang korban, baik secara fisik maupun emosi. "Orang yang dikerasi secara fisik pun akan berdampak pada emosionalnya juga," ujar Irwanto. "karena orang yang dipukul atau dianiaya pasti akan merasa sakit hati," lanjutnya.
Bila orang sering dihina dan dilecehkan atau tak diorangkan, tentunya akan menumbuhkan perasaan rendah diri dan ketidakmampuan bersosialisasi dengan lingkungannya. "Pada anak atau istri yang sering dikatai bodoh, malas, nakal, dan tak berguna, lama-lama akan menganggap dirinya memang seperti itu. Akibatnya, cap-cap itu terus melekat dan akhirnya membuat ia tak percaya diri serta merasa tak berguna." Penderitaan yang melukai ruang psikologis ini dapat menimbulkan traumatik yang mendalam.
Pada anak, persoalannya akan lebih serius lagi karena dampak ini bisa mempengaruhi perkembangannya. "Semua tindakan kekerasan yang dilihat dan dirasakan anak akan direkam di bawah sadarnya dan akan dibawa sampai mereka dewasa. Jadi, besar kemungkinan ketika dewasa nanti ia pun cenderung akan berperilaku sama." Selain itu, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya bisa menjadi anak yang agresif.
Sayangnya, tak semua tindak kekerasan bisa terlihat dengan jelas akibatnya. Hanya tindak kekerasan secara fisik yang bisa terlihat, entah berupa tanda-tanda lebam atau luka. Sedangkan tindak kekerasan yang tak menyebabkan luka fisik semisal penelantaran anak atau sexual abuse seperti ayah yang meraba-raba alat kelamin anak perempuannya, tak akan jelas terlihat.
TAK ADA PERLINDUNGAN
KOMENTAR