Lain cerita, kalau si mata keranjang memang cenderung mengumbar dorongan sesaat hingga tak mampu menjaga perasaan pasangan, "boleh jadi ia tak sungguh-sungguh punya cinta pada pasangannya. Padahal, unsur cinta harusnya juga mencakup keintiman atau kedekatan hubungan secara psikologis, passion dan komitmen. Bila cintanya cuma sebatas passion tanpa diikuti komitmen, besar kemungkinan cintanya memang enggak mendalam." Tak heran kalau cinta tadi lantas tak diikuti komitmen berupa tindakan nyata untuk menjaga sekaligus meneguhkan hubungan mereka agar perkembangannya makin lama makin baik.
DAMPAK KE ANAK
Perlu diketahui, luapan emosi istri yang lepas tanpa kendali atas perilaku pasangannya, akan berdampak buruk jika sampai terdengar oleh anak maupun bila si ibu jelas-jelas menuding si bapak di depan anak, "Bapakmu ini memang mata keranjang, malu-maluin aja!" Terlebih bila umpatan, "Dasar mata keranjang!" diungkapkan sebagai sesuatu yang negatif atau malah menjijikkan.
"Anak akan memandang negatif pada bapaknya secara keseluruhan, bukan lagi hanya perilaku mata keranjangnya yang negatif," jelas Bang Noel. Padahal, anak belum bisa membedakan penilaian secara terpilah-pilah: apa yang terjadi, mengapa bisa begitu, dan sebagainya. Bagi anak, selalu muncul penilaian utuh. Jadi,kalaupun ibu mau memberi komentar tentang perilaku pasangan yang dianggap menjengkelkannya ini, anjurnya, "silakan saja, asalkan bukan komentar yang menyudutkan dan dilakukan dalam situasi santai sebagai sesuatu yang bersifat manusiawi serta lumrah dialami siapa saja." Dengan begitu, anak akan banyak terbantu memilah-milah bahwa yang bikin malu adalah kelakuan si ayah, bukan pribadinya.
Sedangkan bila stigma, "Dasar mata keranjang!" dilekatkan oleh masyarakat, dampaknya jauh lebih buruk. "Orang tua, terutama ibu, wajib melindungi anaknya dari label-label negatif tadi. Tumbuhkan kepercayaan diri dan ajak anak untuk membuka mata bahwa perilaku mata keranjang bukanlah kepribadian, melainkan hanya sebagian kecil dari kepribadian." Anak pun harus diajak belajar melihat secara lebih proporsional bahwa ayahnya atau bahkan dirinya tidaklah seburuk label yang ditempelkan. Jangan sampai anak merasa, "Bapakku saja begitu kecil di mata orang, apalagi aku?" Kalau sampai ini yang terjadi akan lebih sulit bagi orang tua untuk membangun harga diri anak.
Sementara soal "menurun" tidaknya perilaku ini pada anak, menurut Bang Noel, selama ini belum pernah ada penelitian yang membuktikan apakah mata keranjang bersifat bawaan atau lebih karena pengaruh lingkungan. Sama halnya dengan mencari alasan kenapa ada yang mata keranjang dan tidak. Yang jelas, stimulasi lingkungan amat berpengaruh. "Lingkungan yang memungkinkan individu bicara tentang segala sesuatu secara bebas tentang hal-hal yang mengarah ke perilaku mata keranjang, tentu memberi peluang untuk memunculkan perilaku mata keranjang." Sebaliknya, bila hal tersebut tak pernah dibicarakan atau malah dilarang, bisa jadi si anak kemudian tak berkembang menjadi mata keranjang, meski mungkin bibitnya sudah ada.
Th. Puspayanti
KOMENTAR