"Yang seharusnya bisa pisah, akhirnya malah tak bisa pisah. Tapi kalau dianggap sebagai hadiah, mereka akan menganggapnya sebagai tantangan menarik, 'Oh, aku dapat hadiah, aku punya kamar sendiri.' Bukankah setiap anak suka akan hadiah?" tuturnya. Selain itu, tanamkan pula pengertian bahwa mereka pisah kamar bukan berarti benar-benar dipisah.
Pokoknya, tandas Evi, berikan rasa aman dan dukungan bagi kedua belah pihak, baik kakak maupun adik bahwa ini adalah hadiah buat masing-masing. Soal perbedaan jenis kelamin, menurut Evi, belum perlu sekali dijelaskan. "Mereka tak akan mengerti kenapa harus dipisah tidurnya hanya lantaran mereka lelaki dan perempuan, karena mereka masih uniseks." Yang penting ditekankan kepada mereka adalah menanamkan bahwa mereka sudah besar sehingga sudah waktunya punya kamar sendiri. Toh, sejalan dengan bertambahnya usia, mereka pasti akan mengerti dengan sendirinya, kenapa anak lelaki dan perempuan harus dipisah kamarnya. Mereka pun akan merasa risih sendiri kalau ternyata tak dipisah.
LAKUKAN BERTAHAP
Selanjutnya, yang harus diperhatikan orang tua ialah setiap anak butuh adaptasi terhadap situasi ataupun lingkungan baru. Kemampuan beradaptasi ini berbeda-beda pada tiap anak; ada yang cepat, ada yang lambat. Terlebih lagi bila kamar tersebut benar-benar baru buatnya. Bukankah kalau mereka dipisah berarti ada yang mendapat kamar lama dan ada yang harus menempati kamar baru?
Saran Evi, entah kamar lama atau baru yang akan ditempati oleh si kakak maupun si adik, sebaiknya dirembukkan bersama. Tanyakan kepada mereka, "Siapa yang akan pilih kamar lama dan siapa yang akan pindah ke kamar baru? Apakah mau diundi atau ditentukan kalian?" Setidaknya, dengan cara ini dapat membantu mereka menyukai kamarnya masing-masing. Siapapun yang memilih kamar baru, bantulah ia untuk beradaptasi dengan kamarnya. Misalnya, siang hari ajak ia bermain dan tidur di kamarnya. Sementara malamnya, ia boleh tidur di kamar saudaranya. "Lama-lama ia akan familiar dengan kamar tersebut."
Secara bertahap, terangkan pula bahwa itu adalah kamarnya. Langkah berikutnya, minta ia agar mau tidur sendiri. Cara lain, dalam seminggu ada beberapa kali yang masih bisa tidur bersama dan ada hari yang ia harus bisa tidur sendiri. Misalnya, tiap malam Minggu boleh tidur bareng-bareng. "Dengan demikian, ada saat-saat yang dinanti bahwa mereka boleh tidur bareng lagi tanpa mengabaikan bahwa mereka juga harus mandiri," tutur Evi.
Jadi, pemisahannya tak dilakukan secara dratis, melainkan bertahap karena sebelumnya mereka terbiasa tidur berdua sekamar. Terlebih lagi bagi yang menempati kamar baru, selain harus beradaptasi dari tidur berdua ke tidur sendiri, ia pun harus beradaptasi dengan kamar barunya. Ini bukan "pekerjaan" mudah, lo, baginya. "Ibarat proses menyapih, harus dilakukan bertahap karena ada kaitannya dengan rasa aman yang dirasakan anak." Diperlukan kesabaran dari orang tua.
BUATKAN PINTU PENGHUBUNG
Jika ternyata anak tak kunjung bisa juga tidur terpisah, maka orang tua perlu mencermatinya. Biasanya, terang Evi, anak tak bisa tidur sendiri karena kalau terjaga dari tidur ada adik atau kakaknya. "Nah, dengan ia tidur sendiri, ia tak melihat ada adik atau kakaknya sehingga ia kurang merasa aman. Jangan lupa, anak butuh rasa aman, nyaman, tenang, dan terlindungi." Orang tua juga perlu selalu menggali tentang tidur anak. Misalnya, "Kakak kalau tidur mimpi apa? Nyenyak enggak tidurnya semalam?"
Dari situ orang tua akan tahu, karena anak, toh, akan menjawab. Misalnya, nggak bisa tidur karena banyak nyamuk atau mimpi seram, atau malah jawabannya karena tak ada adik. Nah, dari jawaban itu, orang tua bisa mengambil langkah untuk mengatasinya. Misalnya, "Ya, kamu boleh tidur sama adik di hari Minggu. Kan, kita sudah janjian di malam Minggu akan tidur bersama-sama, bahkan sama Mama dan Papa juga."
Jadi, orang tua harus membantu anak untuk tenang. "Orang tua harus sabar, harus memaklumi bahwa tidur pisah itu adalah sesuatu yang berat buat anak." Jangan malah mengatakan, "Pokoknya, kalian harus tidur di kamar masing-masing!" tanpa menyiapkan si anak lebih dulu. "Terlebih lagi bagi anak yang adaptasinya memang lambat, tak ada salahnya bila orang tua menemani tidurnya lebih dulu baru kemudian ditinggal kalau ia sudah tidur."
Bila perlu, lanjut Evi, buatkan pintu penghubung antar kamar anak atau dengan kamar orang tua dan pintu tersebut dibuka. Dengan begitu, ia masih bisa melihat saudaranya atau orang tuanya, sehingga ia tak perlu takut ditinggal sendirian. Esoknya, jangan lupa berikan rewards. Misalnya, dengan pujian, "Kakak pintar sekali tadi malam bisa tidur sendiri." Bagi anak, terang Evi, rewards sangat berarti. "Ia akan terpacu untuk berbuat baik lagi. Bukankah anak selalu ingin menyenangkan hati orang tuanya?" Nah, bila si Buyung dan Upik memang sudah cukup siap untuk dipisah kamarnya, tak ada salahnya dicoba, kan, Bu-Pak?
DESAIN KAMAR SESUAI KESUKAAN ANAK
Si kecil pasti akan lebih senang lagi jika kamar yang dihadiahkan kepadanya didisain sesuai kesukaannya. Kalau ia suka mobil-mobilan, misalnya, hiasi kamarnya dengan gambar-gambar mobil. Bila perlu, tempat tidurnya juga berbentuk mobil. Saran Evi, sebaiknya libatkan anak saat menghias kamarnya. "Anak bisa diajak dalam pemilihan barang. Ia pun bisa diajak untuk bersama-sama menghias kamarnya. Ia pasti suka."
Bila dana terbatas, Bapak-Ibu bisa mengajak anak membuat sendiri hiasan dinding. Misalnya, dari guntingan majalah yang ditempelkan di karton dan diberi pigura. Oh ya, kamarnya juga boleh diisi dengan sejumlah mainan/benda kesayangannya. Dengan begitu, kamar merupakan home sweet home buatnya. Tapi jangan sampai segala aktivitas lantas dilakukan di dalam kamar, lo. Misalnya, makan dan minum di kamar. "Orang tua harus membiasakan pada anak bahwa kegiatan umum, seperti makan, minum, dan nonton TV tak boleh dilakukan dalam kamar." Dengan demikian, anak tak terbentuk jadi individualis.
Indah Mulatsih
KOMENTAR