Saat ini kepercayaan masyarakat maupun paramedis terhadap obat herbal semakin hari makin meningkat. Obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan dulu sebagian besar hanya digunakan kalangan masyarakat menengah ke bawah sekarang sudah naik "kasta", derajatnya hampir menyamai dengan obat-obatan modern yang berasal dari bahan-bahan kimiawi.
Di dunia kedokteran sendiri saat ini, posisi obat herbal berfungsi sebagai pelengkap obat-obatan modern yang sudah ada. "Karena itulah di beberapa rumah sakit di Indonesia misalnya di RS. Dr. Soetomo, Surabaya sudah ada poli khusus melayani pengobatan herbal," kata Prof. DR. Sukardiman, guru besar fakultas farmasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Melengkapi Obat Modern
Mengapa obat herbal semakin diakui keberadaannya? Karena tidak dapat dipungkiri dalam perkembangannya obat modern yang diajarkan kepada para dokter tidak mampu mengimbangi pertumbuhan jenis penyakit yang begitu pesat.
Berbagai penyakit terutama yang menyerang negera-negara berkembang begitu banyak macam ragamnya. Satu jenis penyakit belum ditemukan obatnya sudah bermunculan jenis penyakit lain yang tidak kalah gawatnya. "Lihat saja HIV/AIDS belum diketemukan formula pengobatannya, sudah muncul jenis HN1 yang juga jenis penyakit mematikan," papar Sukardiman.
Karena pengobatan modern saja dianggap tidak mampu mengimbangi kemudian para ilmuwan dunia mulai ada kesepahaman, bahwa untuk menyembuhkan jenis penyakit, tidak mutlak dengan menggunakan pengobatan modern seperti yang selama ini ada, tapi juga diperbolehkan menggunakan obat herbal, bahkan sampai akupuntur, massage dan lain sebagainya. Sebab, pengobatan herbal sendiri sebenarnya sudah lama ada dalam peradaban manusia, dan digunakan sebagai salah salah pengobatan secara turun temurun.
"Karena filosofi pengobatan itu pada dasarnya tidak mengenal pengobatan modern atau tidak modern, yang penting pengobatan itu mampu menyembuhkan penyakit, tanpa membedakan kasta dari teknik pengobatan itu sendiri," tegas guru besar termuda pada fakultas farmasi Unair tersebut.
Gaung dari penggunaan obat herbal itu sendiri semakin kencang karena secara bersamaan di era tahun 80-an juga ada gerakan back to nature. Di era itu masyarakat mencoba menggunakan sesuatu bersumber dari alam sebagai salah satu pengobatan elternatif. "Sejak itulah, obat herbal semakin bisa diterima baik oleh masyarakat maupun tenaga medis sendiri," imbuh Sukardiman.
Berasal dari Tanaman
Sejak itu pula lembaga WHO juga mulai memperkenalkan obat herbal sebagai pelengkap obat modern. Tapi, jika dilihat dari sejarahnya, sebenarnya banyak obat-obat modern pada awalnya bahan aktifnya diambil dari tumbuhan-tumbuhan.
Beberapa contohnya adalah pil kina yang digunakan untuk sakit malaria. Pada awal ditemukannya sekitar tahun 1700-an kina tersebut berasal tumbuh-tumbuhan.
Demikian pula dengan taxol, obat yang digunakan untuk penderita kanker. Pada awal ditemukannya tahun 1964 dan baru dirilis di dunia internasional pada tahun 1990-an pada awalnya berasal dari kulit batang tanaman taxus brevifolia. "Tanamannya berbatang kecil dan tumbuh menjuntai. Tanaman ini tumbuh liar di kawasan Eropa," kata Sukardiman yang menciptakan kapsul androma berbahan kunyit dan sambiloto sebagai obat kanker tersebut.
Pelan tapi Pasti
Sukardiman mengakui, bahwa efek dari obat-obatan herbal itu memang tidak secepat obat modern, ia bekerja pelan tapi pasti. Demikian pula sebaliknya, kalau berdampak, dampak yang ditimbulkan tidak sebesar produk obat-obatan kimiawi.
Soal manfaat tumbuhan bagi Sukardiman tidak heran lagi. Ia mempunyai cerita, beberapa waktu lalu keluarga dari dekan fakultas farmasi kebetulan seorang dokter tapi juga mengidap diabetes. Akibat dari diabetes tersebut ada beberapa bagian luka di tubuhnya yang tidak kering serta diharuskan untuk mengurangi berat badannya.
Tapi dokter tersebut mencoba melakukan pengobatan herbal. Dia kemudian membeli jinten hitam, kemudian menyangrai serta menggerus lembut. Bubuk jinten ini kemudian dimasukkan ke dalam wadah kapsul dan diminum secara berkala. "Sekarang si dokter tersebut sehat, gulanya normal dan tidak harus mengurangi berat badannya," cerita Sukardiman.
Bahkan yang mengherankan, obat-obatan herbal itu mempunyai keunikan yang tidak dimiliki jenis obat modern. Salah satu diantaranya, jika satu bagian tanaman itu mempunyai dampak buruk jika dikonsumsi, maka bagian lain justru sebaliknya, akan bisa menetralkan. Salah satu contohnya, kalau pusing karena terlalu banyak makan durian, maka cara untuk menetralkan sederhana saja. Bagian cangkang kulit durian itu diberi air, kemudian setelah diaduk-aduk air yang ada di cangkang itu kemudian diminum. Maka, dalam waktu sekejap pusing itu akan reda. "Hal ini sudah saya buktikan sendiri," ujar Sukardiman.
Awasi dari Labelnya
Sukardiman menjelaskan semenjak produk herbal makin dikenal masyarakat, sekarang produsen-produsen obat modern yang besar juga merambah usahanya dengan memproduski jenis herbal. Tapi yang mengkhawatirkan, saat ini juga banyak perusahaan-perusahaan ilegal yang memproduksi jamu atau obat herbal, tapi di dalamnya juga dicampur dengan obat-obatan modern, tujuannya agar jamu yang diproduski semakin cespleng. "Ini yang membahayakan, sebab itu berdampak buruk buat organ tubuh pemakaianya," jelas Sukardiman. Karena itu balai penelitian obat dan makanan selalu memberikan label pada setiap produk jamu yang ada di pasaran.
Menurutnya, obat herbal di Indonesia dikelompokkan menjadi tiga kategori. Pertama adalah jamu, yakni bubuk seperti biasa yang ada di pasaran. Kedua, obat herbal terstandar, yaitu obat herbal yang dinaikkan statusnya dengan terlebih dahulu dilakukan uji preklinik dengan dilakukan uji coba pada hewan. Sedang yang ketiga adalah jenis herbal fitofarmaka, yakni obat herbal statusnya paling tinggi karena sudah dilakukan uji klinis pada manusia. "Setiap kemasan obat herbal yang beredar biasannya selalu disebutkan obat tersebut masuk kategori jenis apa, dari sana pula masyarakat bisa mengetahui," papar Sukardiman.
Bagi Sukardiman, Indonesia sudah sudah seharusnya berjuang keras untuk mengembangkan obat herbal. Mengingat, dari kondisi alamnya Indonesia merupakan gudangnya jenis tanaman setelah Brazil. "Untuk jenis tumbuhan Brazil memang nomor satu, sebab di sepanjang sungai Amazon, tumbuh ribuan jenis spesies tanaman yang bermanfaat. Baru kemudian Indonesia yang alamnya juga tidak jauh berbeda," papar Sukardiman.
Gandhi Wasono M
KOMENTAR