Bukan cuma tidak enak dipandang, tapi juga membuat anak tidak nyaman. Bagaimana mengobatinya ?
"Aduh, Dok, kok, dari telinga anak saya keluar cairan? Kenapa, ya? Jangan-jangan anak saya congekan," keluh Ibu Tati pada dokter langganannya. Congekan? Aduh... yang terbayang adalah cairan kuning, kental, dan berbau tidak sedap itu. Mengapa, sih, penyakit yang satu ini sering kita dengar terjadi pada anak-anak?
Sebelum tahu lebih jauh, saran dr. Indro Soetirto, spesialis THT, "Kenali dulu susunan telinga." Telinga, jelasnya, terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, tengah, dan dalam. Pada telinga luar terdapat daun, liang telinga yang berbentuk huruf S dengan rangkanya tulang rawan, dan kemudian ada pembatas atau membran timpani yang lebih akrab disebut gendang telinga.
Sedangkan telinga tengah terdiri dari rongga telinga tengah (kavum timpani), kemudian tulang mastoid yang ada di bagian belakang, dan tuba eustachius, yaitu saluran yang menghubungkan telinga tengah dengan bagian belakang tenggorokan (nasofaring).
Di telinga tengah ini terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam. Mulai tulang maleus, tulang inkus, hingga tulang sanggurdi (stapes). Lalu baru fungsi gendang telinga sampai tulang pendengaran yang berfungsi mengantarkan dan memperkuat getaran suara yang datang dari luar ke telinga dalam.
Pada bagian telinga dalam terdapat reseptor pendengaran yang terletak di rumah siput. Di sini getaran suara akan diganti menjadi aksi potensial listrik, kemudian diantarkan melalui syaraf ke pusat pendengaran di otak bagian pelipis atau temporal. Nah, karena proses inilah kita jadi bisa mendengar.
SUMBATAN
Telinga tengah, tutur Indro, berfungsi meneruskan gelombang suara yang datang dari liang telinga ke otak sehingga suara pun terdengar. Bila terdapat gangguan dalam proses penerusan ini, yang akan terjadi adalah kurang dengar atau dinamakan tuli hantar (tuli konduktif). "Salah satu penyebabnya, karena ada radang di telinga tengah. Akibatnya, telinga terasa nyeri dan pendengaran pun terganggu," ujar dokter dari RSUPN Cipto Mangunkusumo ini.
Telinga tengah ini memiliki tulang pendengaran yang dilapisi selaput lendir (mukosa) yang merupakan lanjutan dari selaput lendir yang berada di hidung atau tenggorokan. Agar berfungsi baik, tekanan di dalam telinga tengah harus sama dengan yang di luar. Fungsi ini pun akan baik bila tubanya baik.
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring (pangkal kerongkongan). Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa,tuba eustachius, enzim, dan antibodi.
Nah, infeksi telinga tengah bisa terjadi karena dua jalan. Pertama, gangguan ini berawal dari masalah di saluran eustachius, tempat bermuaranya telinga tengah, belakang hidung, dan tenggorokan. Bila bakteri atau virus penyebab batuk dan pilek menjalar ke telinga tengah, penyumbatan di saluran eustachius ini dapat terjadi dan udara dalam rongga telinga tengah tertahan. Semua ini membuat gendang telinga terasa sakit. Lama-lama selaput lendir pada telinga tengah akan mengeluarkan cairan. "Biasanya bila ada infeksi, justru ia melakukan pertahanan dengan mengeluarkan banyak lendir," jelas Indro.
Jalan kedua bisa terjadi bila gendang telinga tertusuk dan ada kuman yang masuk, sehingga terjadi infeksi. Misalnya, kurang hati-hati saat membersihkan telinga atau si kecil kemasukan benda yang bisa menusuk gendang telinganya.
Sedangkan pada bayi, infeksi telinga tengah bisa disebabkan karena pilek. "Sebab, bayi belum bisa membuang ingus," ujar Indro. Walaupun gendang telinga tidak sampai pecah, bisa saja terjadi infeksi akut, yang disebut Otitis Media Akut (OMA). OMA terjadi karena faktor pertahanan tubuh terganggu. Sumbatan tuba eustachius merupakan faktor penyebab utama dari OMA. Karena fungsinya terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah.
OMA paling sering terjadi karena kondisi saluran nafas atas, hidung pilek, alergi (misalnya pilek akibat sinusitis), infeksi amandel akut (infeksi tenggorokan). Pada anak, semakin sering ia terserang infeksi saluran nafas, makin besar pula kemungkinan terjadi OMA. "Penyakit ini lebih mudah dan sering terjadi pada bayi. Soalnya, letak tuba eustachiusnya horisontal atau datar, lebih pendek dan lubangnya relatif lebih besar atau lebar. Itu menyebabkan lendir lebih mudah masuk. Selain itu, fungsi menutup tuba yang ada di tenggorok atau belakang hidung bayi belum sempurna, " jelas Indro.
Perlu diketahui, panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak di bawah 9 bulan adalah 17,5 mm. "Bila tuba tersumbat dan lendir terbentuk terus, pendengaran akan berkurang. Bisa terjadi tuli konduktif, adanya gangguan hantaran suara, sementara sarafnya tidak apa-apa," ujar Indro.
Kurangnya pendengaran ini dikarenakan gerak gelombang suara terganggu akibat adanya cairan di sekitarnya. Begitupun bila terjadi congek karena gendang telinganya berlubang, adanya cairan dan gerak tulang pendengaran terganggu.
GENDANG TELINGA PECAH
Gejala infeksi telinga diawali dengan rasa sakit pada bagian telinga. Pada bayi, biasanya gejalanya berupa rewel, menangis, gelisah, dan sulit tidur. "Gejala khasnya demam yang tinggi dan tidak turun-turun meski sudah diobati," ujar Indro. Panas badannya bisa sampai 39,5 derajat dan dapat menyebabkan kejang.
Sebagai tambahan pengetahuan, bila terjadi kejang berarti ada gangguan peredaran darah di otak. Jika sering terjadi, ini bisa menimbulkan gangguan pada otak. Dampaknya bisa membuat anak kurang cerdas atau bodoh. Pada kasus tertentu, bisa pula terjadi, anak jadi buang-buang air atau diare.
Mengapa gendang telinga bisa pecah? "Bila infeksinya tidak diobati, pernanahan di telinga tengah bisa menyebabkan gendang telinga menjadi lembek. Lama-lama, gendang bisa pecah dan keluarlah nanah dari dalam telinga," jelas Indro. Bila terjadi pernanahan dan membran menjadi pecah, inilah yang disebut congekan atau otitis media akut perforata.
Kondisi itu menunjukkan adanya perforasi (lubang) dan merupakan infeksi kronis. Yang terjadi, lendir yang berasal dari telinga tengah akan terus-menerus keluar dari lubang gendang telinga. "Bisa juga kadang keluar kadang tidak. Jika keluar, cairannya kental dan bernanah."
Keadaan ini, lanjut Indro, bisa terjadi lantaran beberapa hal. Antara lain karena terlambat diberikan terapi, terapi tidak tepat, virulensi kuman yang tinggi, daya tahan pasien rendah (gizi kurang), atau karena kebersihannya buruk.
Yang dikhawatirkan adalah bila gendang telinga yang pecah tadi tidak bisa menutup lagi. Untuk itu diperlukan terapi yang memakan waktu lama serta harus berulang-ulang sebab sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini disebabkan antara lain adanya lubang gendang telinga yang permanen, sehingga telinga tengah berhubungan dengan dunia luar. Atau terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung, dan sinus paranasal.
MACAM-MACAM AKIBAT
Untuk menyembuhkannya, terang Indro, dilihat dari tingkat penyakitnya. "Bila gendang telinga belum pecah, cukup dengan obat-obatan selama 1 minggu." Dokter THT biasanya akan menusuk dan mengeluarkan nanah, agar panas badan anak menjadi turun. Caranya dengan menyayat atau menoreh gendang telinga memakai alat khusus sehingga terjadi luka berbentuk garis, yang disebut miringotomi. Tapi, miringotomi tak perlu dilakukan bila terapi yang diberikan sudah adequate. "Dalam arti pasien sudah diberi antibiotika yang tepat dan dengan dosis yang cukup."
Yang jelas, bila penyakit ini dibiarkan, peradangan akan berlanjut. Selain bisa merusak tulang pendengaran di telinga tengah, bisa juga menjalar ke tulang di belakang telinga, yaitu tulang mastoid (mastoiditis). Kondisi ini bila dibiarkan akan mengakibatkan terjadinya peradangan selaput otak (meningitis). Peradangan pun dapat terus berlangsung ke dalam otak sehingga terjadi abses otak.
"Karena itu, bila anak pilek atau radang tenggorok, sebaiknya segera berobat ke dokter agar tidak terjadi penjalaran penyakit ke telinga tengah. Bila telah terjadi congek, berobatlah yang tekun dan jaga kebersihannya," anjur Indro.
Dedeh Kurniasih/nakita
KOMENTAR