Konon di dunia ini, selain Lizzie Velasquez (24), hanya ada tiga orang termasuk dirinya yang menderita sindrom seperti yang dialaminya. Dokter menyebutnya, ia menderita neonatal progeroid syndrome, sebuah kondisi yang membuat Lizzie tak bisa memiliki lemak dalam tubuhnya sama sekali dan membuat kulit tubuhnya keriput ibarat tulang terbungkus kulit. Lizzie juga memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. Selain itu, sindrom ini juga membuat berat badan gadis kelahiran Austin, Texas, 13 Maret 1989 ini tak bisa bertambah.
"Padahal, saya boleh makan apa saja dan kapan saja saya mau. Tapi tetap saja berat saya tak bisa bertambah. Umur saya akan menginjak 25 tahun Maret mendatang, tapi seumur hidup berat saya tak pernah lebih dari 64 pound (29 kg, Red.)," tutur Lizzie yang setiap hari menyantap 5 ribu-8 ribu kalori dan makan setiap 15 menit sekali agar selalu punya energi. Setiap kali makan, Lizzie biasanya akan makan dalam porsi sedikit agar tidak muntah akibat perutnya terlalu penuh.
Anak pertama pasangan Rita dan Guadalupe Velasquez ini lahir prematur empat minggu lebih awal. Saat lahir, beratnya hanya 1,2 kg. Sesaat setelah sulung dari tiga bersaudara ini lahir, dokter memberitahu kedua orangtuanya bahwa Lizzie tak punya lemak sama sekali. Lizzie terlahir tanpa jaringan adiposa. Jaringan adiposa merupakan jaringan yang terdiri dari sel-sel adiposit, di mana tubuh menyimpan lemak. Dokter juga memperingatkan mereka, kemungkinan kelak Lizzie tak bisa bicara, berjalan, merangkak, atau apa pun secara mandiri.
Alih-alih merasa sedih, kedua orangtua Lizzie tak berkecil hati, malah ingin segera melihat bayi mereka. "Kami akan membawanya pulang, mencintainya, dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang, dan membuatnya semandiri mungkin," ujar orangtua Lizzie yang memang memenuhi semua janji itu. Mereka tak pernah menganggap Lizzie berbeda dari anak lainnya, meski suara Lizzie semasa kecil sangatlah kecil seperti suara tikus. Rita dipuji Lizzie sebagai ibu yang selalu punya semangat besar dalam mengasuhnya.
Tetangga dan teman-teman Lizzie di sekitar rumah pun memperlakukannya biasa saja. Saking mungilnya tubuh Lizzie, ibunya terpaksa memakaikan baju boneka milik Lizzie ke tubuhnya saat awal lahir. Penglihatan Lizzie pun sangat kurang.
Pada usia dua tahun, Lizzie sudah mengenakan kacamata tebal. Dua tahun kemudian, mata kanan Lizzie buta, sementara penglihatan mata kirinya mengalami penurunan. Namun ketika mulai masuk TK pada usia 5 tahun, perjuangan hidup Lizzie dimulai. Semula ia tak tahu, ia berbeda dari anak lain.
Tatapan Terberat
Hari pertama sekolah, dengan penuh percaya diri ia masuk ke dalam kelas sambil memanggul tas yang lebih besar dari tubuhnya. Saat melewati seorang gadis kecil yang sedang membaca di mejanya, Lizzie tersenyum kepadanya. "Tapi anak itu menatap saya dengan penuh ketakutan seperti melihat monster. Seolah-olah saya merupakan hal paling menakutkan yang pernah dilihatnya dalam hidup. Saya bingung, lalu memutuskan main sendiri," kenangnya pahit. Ia mengira, pengalaman tak menyenangkan itu sudah berakhir, ternyata tidak.
Hari itu, yang terjadi padanya di sekolah makin lama makin menyakitkan. Tak ada yang mau bermain dengannya. Lizzie tak habis pikir, mengapa ia dijauhi semua temannya. Ia lantas berpikir apa yang salah, karena ia merasa tak berbuat buruk kepada mereka. Tak ada yang mau duduk di sebelahnya saat makan siang dan tak ada yang mau bicara kepadanya.
Mereka pun menghinanya dengan julukan jelek, tulang berkulit, dan sebagainya. Yang paling menyakitkannya adalah tatapan orang-orang di sekitarnya atau ketika ia masuk ke sebuah ruangan. Lalu, mereka akan menunjuk ke arahnya dan berbisik-bisik membicarakannya.
"Ini kenyataan yang sangat berat bagi anak yang baru berumur lima tahun," kenangnya pahit. Sampai di rumah, ia langsung bertanya kepada orangtuanya apa yang salah pada dirinya. Kedua orangtuanya menjelaskan, satu-satunya hal yang membuatnya berbeda dari anak lain adalah ukuran tubuhnya yang lebih kecil dibandingkan mereka karena memiliki sindrom tertentu.
"Namun itu tidak akan mendefinisikan siapa dirimu. Tetaplah pergi ke sekolah, angkat kepalamu, tersenyum, dan teruskan jadi dirimu sendiri. Maka orang akan melihatmu apa adanya," nasihat orangtua Lizzie bijak.
Lizzie menurut. Apalagi, orangtuanya juga tak pernah mengatakan hal-hal negatif atau mematahkan semangatnya. Lama-kelamaan, teman-temannya mulai melihat ia memang sama seperti yang lain. Beberapa dari mereka mulai menjadi temannya. Bahkan, mereka siap membelanya ketika ia dihina teman-teman lainnya.
Saat SD, seingat Lizzie, ia punya stok makanan sangat banyak di meja sekolah, karena ia memang harus sering makan. Donat, kue, makanan cepat saji, dan bermacam makanan lainnya. Teman-temannya, bahkan yang membencinya pun boleh ikut menyantap makanan itu bersamanya. "Jadi, baik-baiklah kepada saya kalau ingin ikut makan," kenangnya lalu tertawa. Seiring usianya bertambah, saat SMP, Lizzie mulai menyadari sindrom yang diidapnya.
Lizzie mulai membenci wajahnya saat bercermin tiap bangun tidur pagi. Lizzie selalu berharap bisa menghapus sindrom ini dari wajahnya, sehingga hidupnya akan jadi lebih mudah. Ia jadi pendiam. Kalau ada yang mengajaknya bicara, ia akan terus berjalan atau tak menunjukkan reaksi. Ia tak mau orang tahu ia sangat sedih atas kondisinya.
Di malam hari, ia menangisi nasib dan berdoa agar saat bangun tidur pagi dan bercermin, wajahnya berubah cantik. Sehingga, ia tak perlu menghadapi tatapan orang dari rambut hingga kaki dan hinaan. Selama bertahun-tahun, ia memanjatkan doa ini dan tak tahu harus menyalahkan siapa.
Masuk ke sekolah baru saat SMP sangat melegakannya, karena terlepas dari hinaan teman-teman lamanya, tapi sekaligus membuatnya takut akan hinaan dari teman-teman barunya. Beruntung, Lizzie lalu punya teman-teman dekat yang menerimanya apa adanya. Namun dalam hati ia tetap tak bisa menerima wajahnya. Ia sangat ingin jadi remaja keren seperti gadis lainnya. Sampai suatu hari, ia mengutarakan niatnya untuk jadi cheerleader.
Meski kaget, ibunya mendukung. Lizzie pun jadi cheerleader. "Sebetulnya, saya hanya ngin mengenakan seragamnya. Ketika akhirnya memakainya, saya merasa jadi gadis yang keren. Ini membuat saya percaya diri," tuturnya. Setiap kali Lizzie beraksi, ibunya selalu siap merekam dengan kamera.
Sejak ikut tim cheerleader dan mulai berteman, Lizzie merasa nyaman berkomunikasi dengan orang lain. Ia juga suka mencoba hal-hal baru, termasuk teater. Namun bukan berarti orang berhenti menghina dan menatapnya. Saat SMA, ia juga ikut cheerleader.
Perlahan, ia mulai mencoba untuk menyukai dirinya sendiri, walaupun tetap mempertanyakan Tuhan mengapa memberinya sindrom itu. Semakin tak mendapat jawaban, Lizzie semakin tenggelam dalam pikirannya. Ia jadi penyendiri. Keluarga dan teman-temannya berusaha menghiburnya, tapi tak berhasil.
Sampai akhirnya, ketika tengah mengerjakan PR, Lizzie membuka Youtube dan melihat foto yang sangat familiar baginya. Itulah video berisi rekaman sebuah acara teve di mana Lizzie diminta tampil dan menceritakan sindromnya, saat ia berusia 11 tahun.
Lizzie tersentak membaca judul videonya, yaitu The world's ugliest woman. Ia sangat sedih, apalagi ternyata video itu ditonton 4 juta orang. Ketika ia tonton, video berdurasi delapan detik itu ternyata tidak bersuara. Ia merasa seperti ditinju berkali-kali. Dilihatnya, ada ribuan komentar di video itu. Tak satu pun yang positif.
Bahkan, ada yang menyuruhnya menembak kepalanya sendiri. "Saya tak habis pikir, bagaimana bisa orang dari berbagai usia itu berkomentar buruk saat melihat video anak berumur 11 tahun yang bahkan tak mereka kenal," tutur Lizzie yang langsung menangis membaca semua komentar itu.
Titik Balik
Rasa percaya diri Lizzie langsung turun nyaris ke titik terendah. Dalam sekejap, kesedihannya berubah jadi marah. Ia menghapus air matanya dan bersiap mengetik ucapan balasan yang buruk. Namun ia tersadar. Bila ia membalas semua itu, apa manfaatnya? "Ini hanya akan membuat saya terlibat dalam perang tak berkesudahan dan saya akan jadi sama seperti mereka," kenangnya.
Di saat yang sangat berat itu, ia tersadar, mengubah hidup menjadi lebih baik atau buruk sepenuhnya pilihan itu ada di tangannya. Dalam pikiran Lizzie, cara terbaik untuk "membalas" orang-orang yang sudah menghinanya adalah dengan membuat dirinya lebih baik dan membalikkan hinaan mereka sebagai cara untuk mencapai tujuan.
Menjelang lulus, pihak sekolah memintanya bicara di depan para undangan untuk bercerita tentang hidupnya. Meski mulanya menolak, ia lalu setuju setelah didukung keluarga dan teman-temannya. Di luar dugaan, para undangan mendengarkannya dengan khusuk.
Usai pidato, Lizzie didatangi para undangan yang berterima kasih karena telah menginspirasi mereka dan menyadarkan mereka bahwa masih banyak orang yang dilecehkan. Lizzie baru sadar, ia membuat mereka menangis.
"Saya tak pernah merasa sebangga itu menjadi gadis dengan sindrom ini. Saat itu juga saya tahu apa tujuan hidup saya berikutnya, yaitu jadi motivator, meski saya tak tahu caranya. Sejak itu saya juga tahu, mengapa Tuhan menciptakan saya seperti ini, yaitu agar bisa menginspirasi orang lain," kenangnya terharu.
Lizzie yang menyukai ilmu komputer ini bertekad pada diri sendiri untuk jadi motivator, menulis buku, lulus kuliah, dan memiliki keluarga serta karier sendiri. Ia bekerja keras dan membuktikan, orang-orang salah meremehkannya. Ia menjadikan semua celaan yang ditujukan kepadanya sebagai cambuk dan motivasi untuk sukses. "Gunakan hal-hal negatif dalam hidup Anda untuk membuat hidup lebih baik. Saya jamin, Anda akan menang," tandasnya yakin.
Kini, sudah delapan tahun Lizzie menjadi motivator di berbagai seminar dan acara. Tahun pertama kuliah di Jurusan Communication Studies di Texas State University, Lizzie menulis buku pertamanya, Lizzie Beautiful, bersama sang ibu. Setahun kemudian di tahun 2010, buku itu dirilis dalam bahasa Inggris dan Spanyol. Tahun berikutnya, buku keduanya, Be Beautiful Be You, dirilis. Tak lama lagi, buku ketiganya akan terbit.
"Keyakinan, keluarga, dan teman adalah tiga hal yang sangat penting dalam mendukung dalam hidup saya," tuturnya. Hidup yang dulu dilihatnya sebagai kutukan, kini bisa dilihatnya sebagai anugerah.
Hasuna Daylailatu
KOMENTAR