Ketua Pembina Putra Putri Solo (PPS), Ray Febri Hapsari Dipokusumo, juga tak luput dari serbuan pertanyaan banyak pihak perihal Dipta. "Terus terang kami kerepotan tiap ditanya soal latar belakang Dipta. Kami kenal dia, ya, sebatas sebagai pemenang Putri Solo saja. Belum banyak kenal secara pribadi, dia sudah mengundurkan diri lalu menghilang. Bahwa dia dikabarkan saat ikut kontes menggunakan alamat palsu, kami tak tahu," tutur menantu mendiang Raja Surakarta, Sunan PB XII ini.
Menurut Febri, semua kriteria yang disyaratkan dalam pemilihan Putri Solo, dimiliki Dipta. "Selain cantik, anaknya juga pintar. Persyaratan dan kriteria sebagai Putri Solo sudah dia miliki, ya, dialah pemenangnya," lanjutnya. Bahwasannya kini Dipta diduga tersangkut kasus yang tengah membelit seorang perwira tinggi polisi, Febri mengimbau masyarakat untuk tidak mengait-ngaitkan status Putri Solo dengan kasus yang tengah membelit Dipta.
"Dampak citra buruknya itu, lho, yang tidak adil. Kasihan anak-anak PPS sekarang, yang tak tahu-menahu soal itu jadi terbawa-bawa. Kami khawatir, jika kasus Dipta terus-terusan dikaitkan dengan statusnya sebagai mantan Putri Solo, nanti para orangtua akan melarang anaknya ikut pemilihan PPS. Padahal, tujuan dan tugas-tugas PPS, kan, baik. Salah satunya membantu pemkot mempromosikan pariwisata dan pengabdian ke masyarakat."
Dari pengalamannya menyiapkan PPS sejak 2003, Febri mengaku selalu bekerjasama dengan banyak pihak. Salah satunya, institusi Polri. "Ya, saat peserta PPS dibekali pengetahuan soal narkoba, kami bekerjasama dengan Polri. Pembekalan biasanya dilakukan di hotel," terang Febri. Namun ia mengaku tak tahu di mana, kapan, dan atas prakarsa siapa Dipta bisa berkenalan dengan Irjen Pol Djoko Susilo yang disebut-sebut menikahi Dipta tahun 2008.
Juli tahun silam, nama Irjen Pol Djoko Susilo mencuat setelah KPK menjadikannya tersangka kasus penipuan dan penggelapan anggaran pengadaan simulator ujian SIM di Markas Korps Lantas Polri. Perkara yang terjadi di tahun 2011 ini menyeret Djoko selaku Direktur Lantas Polri saat itu. Lewat perantara, perwira Polri ini diduga menerima suap senilai Rp 2 miliar dalam pengadaan proyek tersebut.
Sosok Djoko yang merupakan lulusan Akpol angkatan 1984 bisa dibilang memiliki karier yang moncer. Lulus dari Akpol, ia bertugas sebagai Pama PD di Polda Jateng. Selanjutnya Djoko berturut-turut menjabat sebagai Pamapta Polres Purbalingga, Kapolsek Wonoreja Polres Cilacap, Kasatlantas Polres Banyumas, dan Kasat Lantas Polresta Surakarta. Kariernya terus meroket saat di Dirlantas Polda Metro.
Tak lama ia diangkat menjadi Dirlantas Polri dengan pangkat Brigjen. Bintang terang menaungi perjalanan kariernya karena ia yang pertama mendapat pangkat Brigjen dan Irjen dibanding rekan seangkatannya. Di bawah usia 50 tahun, Djoko memegang posisi elit sebagai Gubernur Akpol.
Kerap dianggap sebagai perwira langka di Polri, Djoko dinilai pandai menggalang dana taktis yang tak dianggarkan dalam APBN, seperti membangun kantor Polres, kantor Dirlantas, dan mengganti kendaraan Dinas tanpa menggunakan dana APBN. Ia juga mendatangkan puluhan sepeda motor Harley Davidson untuk kebutuhan Subdit Patwal dan Brigade Motor.
Djoko Susilo juga membangun Traffic Management Centre (TMC) Polda Metro Jaya, gedung Samsat, hingga gedung utama Kapolda Metro Jaya. Djoko Susilo adalah Perwira di jajaran Kepolisian yang pertama kali merintis Traffic Management Center (TMC) Polda Metro dan memasang CCTV di seluruh pusat kota Jakarta untuk memantau lalu lintas di Jakarta.
Djoko bahkan menjadi orang yang pertama kali menggagas keberadaan Polisi Masyarakat (Polmas) agar masyarakat dapat ikut berkontribusi dan membantu tugas-tugas kepolisian yang bersifat kemitraan yang sederajat. Pendek kata Djoko Susilo adalah perwira istimewa dan . pernah mendapat beberapa penghargaan dari Presiden SBY.
KOMENTAR