Andi Sudirman tak pernah menyangka, profesinya sebagai penjaga Bendungan Katulampa membuatnya banyak dikenal orang. Mulai dari warga sekitar bendung hingga gubernur dan presiden. Selama 25 tahun jadi penjaga Pintu Bendung Katulampa ia mengaku tak pernah bosan.
"Dulu saya ingin jadi marinir, tapi enggak lulus tes. Lalu saya ditugaskan di sini (Bendung Katulampa). Ya, paling enggak masih ada hubungannya dengan air lah," seloroh ayah tiga anak ini. Ketika itu, lanjutnya, ia digaji Rp 23 ribu per bulan dan tinggal di rumah dinas khusus bujangan. Suka dan duka selama 25 tahun sudah pasti banyak. Terlebih, baru pada 2007 ia diangkat jadi PNS. "Gaji jelas tak cukup, tapi karena ingin mengabdi saya juga harus kerja serabutan," bebernya.
Sejumlah pekerjaan lain seperti jadi tukang ojek dilakukan Andi untuk menambah pemasukan rumah tangga. "Tahun 2008 saya bikin kolam ikan, alhamdulillah bisa membantu perekonomian keluarga," tambahnya. Pengabdian Andi lalu terdengar sampai ke telinga pimpinanya, "Tahun 2008, saya dapat penghargaan dari Gubernur Jawa Barat dan diberi hadiah naik haji gratis," aku Andi bahagia.
Kendati bekerja jauh dari kota, "Saya sudah bertemu dan bersalaman dengan presiden, sejak zaman Ibu Mega, dan pejabat lain. Bahkan Bu Mega pernah telepon langsung ke saya. Malah saya juga bisa bertemu Pak Jokowi yang datang ke Katulampa untuk lihat langsung kondisi bendung," tuturnya.
Kedatangan Jokowi memang beralasan, "Soalnya air dari Katulampa inilah yang masuk ke Jakarta. Air dari Katulampa berasal dari Telaga Warna di kawasan Puncak melalui 13 sungai. Dari Katulampa masuk ke Ciliwung lalu ke sungai-sungai Jakarta," jelas pria ramah ini.
Di musim hujan, Andi dapat memastikan akan selalu ada di pos. "Jarang pulang karena harus memantau debit air dan kasih laporan. Jika ketinggian air mencapai 250 cm dengan debit 650 ribu liter per detik, sudah dapat dipastikan Jakarta akan banjir besar seperti tahun 2007 lalu."
Pekan lalu, ketinggian air di Katulampa masih dalam batas normal, 60 cm. "Di musim hujan begini, saya bisa ditelepon sampai 700 kali sehari. Kebanyakan dari warga yang tinggal di kawasan banjir. Tapi sebenarnya informasi Bendung Katulampa bisa dipantau lewat internet. Kami punya streaming CCTV dan beberapa layanan lain seperti SMS Gateway," tutupnya.
Selain pintu air, tempat yang paling vital mengendalikan banjir di Jakarta adalah pompa air. Salah satu pompa air yang dikelola Departeman Pekerjaan Umum ada di Cideng, Jakarta Pusat. Pompa ini sebagai penyelamat sejumlah wilayah vital di DKI Jakarta, seperti Sudirman, Thamrin, Menteng, seputaran Monas, hingga Istana Negara dari genangan air saat hujan mengguyur Jakarta.
Air hujan dari kawasan itu sebagian berkumpul di Waduk Melati, sebagian lagi mengalir ke Kali Cideng. "Air yang mengalir ke Kali Cideng ini sebagian dipompa ke Sungai Ciliwung," kata Lilik Budi Santoso, operator pompa di Cideng. Ada 10 pompa yang sidah disiapkan. Enam pompa per detik masing-masing bisa menyedot 6,7 kubik air. Sementara empat pompa, masing-masing 2 kubik per detik.
Lantaran posisi pompa lebih rendah dari Sungai Ciliwung, proses pembuangan air itu lewat teori bejana berhubungan. "Air dialirkan lewat tekanan dari atas. Ini dibuat orang Jepang," tandas pria kelahiran Semarang. Ada beberapa bak penampungan berukuran besar yang terletak di belakang gedung pompa air itu.
Tak hanya teknologi pompa yang canggih, mesin penyaringan sampahnya pun sudah otomatis. "Sebelum air disedot, sampah disaring dulu. Mesin ini buatan Jerman dan sangat membantu mengambil sampah-sampah ukuran kecil. Setelah diangkat ke atas, sampah dibawa dan ditumpuk di samping gedung. Sementara balok kayu, kasur, meja, kursi, lemari, dan lainnya harus diangkat manual," jelas Lilik yang mengaku kerap mendapat bergunung-gunung sampah setiap kali banjir.
Hari-hari belakangan ini, ayah satu anak beserta tujuh temannya harus selalu siaga. "Sebenarnya tugas kami 24 jam lalu libur 24 jam. Tapi berhubung saya juga tinggal di rumah dinas, mau tak mau ikut repot saat hujan tiba, meski sebenarnya sedang dapat jatah libur." Tak hanya itu, cuaca yang cepat berubah membuat Lilik dan teman-temannya tak berani pergi jauh-jauh dari tempat kerjanya.
Ya, pekerjaan LIlik dan rekannya memang sangat vital. Telat sedikit saja memompa air, akibatnya sangat fatal, kawasan-kawasan vital di Jakarta bisa terendam. "Saat hujan pekan lalu sebenarnya kami sudah ketar-ketir karena ketinggian air mencampai bibir sungai, 210 cm. Ini sudah angka tertinggi," kata Lilik seraya mengatakan ramalam BMG masih ada hujan yang lebih lebat lagi di pekan depan.
Banjir di Jakarta makin hari makin parah, kata Lilik, karena permukaan tanah tiap tahun menurun. "Makanya ada beberapa tempat yang dulu tak kebanjiran sekarang kebanjiran. Ini bukan karena volume air besar, tapi permukaan tanah yang turun," tambah Lilik yang minta warga Jakarta menyadari kondisi Jakarta yang memang rawan banjir. "Makanya Belanda membangun kanal-kanal untuk pengendalian banjir di Jakarta."
Edwin Yusman F, Sukrisna
KOMENTAR