Bakery Ubi Jalar
Selain ingin memiliki usaha sendiri, lulusan Teknologi Pangan Unika Wisya Mandala Surabaya ini ingin menciptakan sesuatu yang unik dan bergizi bagi masyarakat. Kendati sempat jatuh-bangun membina usahanya, Halim Wibowo (27) tak patah arang. Kejatuhannya justru menjadi motivasi bagi bungsu dari empat bersaudara ini untuk terus memperbaiki diri.
Menggunakan ubi jalar sebagai bagian dari bahan pembuat cake dan roti, dikisahkan Halim sebagai sesuatu yang tak disengaja. "Tahun 2008 saya berniat membuat usaha bakery. Ide meggunakan ubi terinsirasi dari film kartun Ninja Turtle. Salah satu tokohnya yang bernama Donatello membuat saya berpikir untuk membuat donat dari telo atau ketela," tukasnya seraya tertawa.
Sebagai lulusan Tehnik Pangan, Halim mengetahui, ubi atau ketela memiliki banyak vitamin dan serat yang baik bagi manusia. "Dari segi gizi sangat bermanfaat, tapi ubi jalar sejauh ini masih diasumsikan sebagai konsumsi kelas bawah. Saya ingin mengangkat imej ubi jalar melalui bakery. Asal tahu saja, 100 persen terigu masih impor. Tak bisa dipungkiri, membuat produk bakery membutuhkan terigu, tapi kebutuhan itu bisa disubtitusi atau ditambah ubi."
Mengapa memilih membuat usaha bakery? "Ini bukan usaha keturunan, saya tertarik saja dengan bakery dan mulai belajar membuatnya dengan menggunakan resep yang sudah ada, tinggal dicoba saja."
Namun ketika memulai usaha ini Halim tak serta merta membuat toko bakery. "Saya mengawalinya dengan membuat donat. Karena untuk membuat donat tak butuh mesin besar dan mahal. Tinggal siapkan mikser dan penggorengan, sudah bisa bikin usaha," akunya.
Kegagalan itu tak membuatnya menyerah. "Saya kembali bangkit dengan modal pinjaman lagi. Tapi kali ini saya tidak menjajakannya secara berkeliling. Saya titip jual di beberapa toko dan kantin sekolah. Selain itu, saya jalin kerja sama dengan office boy dan office girl. Kadang mereka, kan, suka diminta beli makanan atau jajan, nah saya ajak mereka untuk menjual donat saya dengan sistem bagi hasil."
Pilihan itu membuat usaha Halim kian dikenal. "Jual titip ternyata hasilnya kurang bagus. Saya kemudian fokus jualan ke kantor-kantor. Sampai tahun 2009 saya bisa beli mesin dan mulai membuat beragam roti. Pada 2011 saya dapat investor, kemudian bisa membuka toko," beber Halim yang kini memiliki omzet Rp 30 juta per bulan.
Sejak 2011, produk bakery berbahan dasar ubi jalar yang ditawarkan Halim semakin beragam. "Sebulan saya menghabiskan sekitar 250 kilogram ubi jalar. Ke depannya saya ingin membuka toko lagi. Lalu mau bikin sub bisnis yang juga menggunakan ubi. Salah satunya membuat sandwhich bakar Indonesia dengan isi selai ubi. Bahan pembuatan roti tawar juga saya tambahkan ubi."
Ubi yang digunakan Halim beragam jenis, mulai dari ubi ungu sampai ubi oranye. "Semakin pekat warnanya, semakin banyak vitamin yang dikandungnya. Ubi putih dan kuning enggak saya pakai. Ubi ungu saya pakai untuk roti tawar. Soalnya roti manis enggak bagus penampilannya kalau pakai bahan ubi ungu. Eggak ada penanganan khusus untuk menggunakan ubi, tinggal dikukus, dikupas, dan siap dipakai dalam adonan. Ubi saya dapatkan dari petani setempat saja di Jawa Timur. Enggak susah mencarinya, banyak terdapat di kawasan Trawas."
"Kecelakaan," tukas Didik Eko W, menjadi awal usaha kuliner serba jamur yang digelutinya. Sejak 2006, pria yang tinggal di Malang, Jawa Timur ini memutuskan menjadi petani jamur. Oleh karena sering kelebihan produksi jamur yang disebut Didik sebagai kecelakaan itulah yang kemudian membuatnya berhasil mencari jalan keluar.
"Sehari saya bisa panen jamur sampai 50 kilogram. Enggak semua hasil panen dapat diserap pasar, kadang stok masih banyak atau pedagangnya libur. Sayang kalau hasil panen yang berlebih itu dibuang begitu saja. Saya mulai mencari cara untuk mengatasi hal ini. Bukan mengurangi produksi, tapi bagaimana agar hasil panen berlebih ini bisa tetap menghasilkan uang," tuturnya.
Didik pun mulai mengikuti beragam kursus sampai mencoba-coba sendiri beragam resep berbahan dasar jamur. "Saya menjalankan apa yang dinamakan ATM, Amati, Tiru, dan Modifikasi. Awalnya saya membuat kripik jamur, kemudian membuat es krim dan permen jamur. Siapa sangka jika dua produk terakhir itu yang justru memberi hasil lebih besar ketimbang sekadar jadi petani jamur," ucapnya seraya tertawa.
"Resep apa pun bisa kita temui di internet dan di mana saja. Kebetulan juga kampus Brawijaya punya Fakultas Teknologi Pertanian, saya bisa bertanya di sana. Bahkan saya bisa masuk ke perpustakaan mereka." Keripik jamur mengawali usaha Didik, "Proses pencarian resepnya cukup lama, malah awalnya terasa keras. Saya lalu modifikasi sendiri resepnya, hingga mendapat resep yang pas. Saya juga coba pasar ke mana-mana. Saya titip keripik ke sekolah-sekolah atau dibagikan ke tetangga."
Dimulai dari menjajakan di kantin-kantin sekolah, "Produk ini sudah mulai masuk pusat oleh-oleh di Malang. Kemudian saya membuat permen jelly dari jamur. Semua saya buat sambil jalan saja. Entah nanti ke depannya bikin apa lagi."
Dalam sebulan Didik memproduksi sebanyak 50 kilogram kripik jamur dan es krim sekitar 500 cups. "Permen belum bisa dihitung karena produk ini baru diluncurkan bulan Oktober ini," ujar Didik yang kini beromzet Rp 10 juta per bulan.
Edwin Yusman F / bersambung
KOMENTAR