Sudah sekitar tiga bulan ini, saya tidak bekerja. Istriku, Mamih, pun sama. Kami terpaksa melepas mata pencaharian demi merawat anak kedua kami, Siti Marsitoh. Oleh dokter yang memeriksanya, ia didiagnosa mengidap gizi buruk dan tumor yang kini menjadi kanker teratoma. Siti lahir pada tahun 2003 lalu. Awalnya saya menamainya Odeh Puspitasari. Ketika lahir, ia terlihat sehat dan normal seperti bayi pada umumnya.
Namun saat dirinya menginjak umur satu tahun, terlihat ada yang aneh pada bagian perutnya. Perutnya membuncit secara tak wajar. Melihat kondisinya seperti itu, saya pun membawanya berobat. Awalnya, saya bawa dia ke puskesmas terdekat. Pada saat Siti berumur dua tahun, saya mulai mencoba berbagai pengobatan untuk Siti. Selain pengobatan dokter, saya juga mencoba pengobatan alternatif. Apa yang ditunjukkan oleh orang-orang, entah itu tabib, pengobatan herbal, dukun, puskesmas, semua saya coba.
Sayang, berbagai pengobatan itu tak membuat kondisi kesehatan Siti makin membaik. Saya lakukan semua itu karena saya tak punya pegangan, mana pengobatan yang terbaik untuk Siti. Saya turuti saja apa kata orang, yang penting pengobatan itu terjangkau dengan uang yang saya punya. Karena sering sakit-sakitan pula, saya kemudian mengganti namanya menjadi Siti Marsitoh.
Sejak kecil, Siti doyan sekali makan. Apa saja yang dihidangkan ibunya, dia mau melahapnya. Dia juga anak yang gesit. Ketika umurnya 7 tahun, meskipun dalam keadaan sakit, dia mau menggembala kambing, mengambil air di sumur, membawa kayu bakar, atau mencuci baju. Dia mau bantu orangtuanya selagi masih bisa berjalan.
Teman-temannya di sekitar rumah juga baik. Setiap akan bermain, mereka selalu mampir ke rumah kami untuk mengajak Siti ikut serta. Dia juga anak yang cerdas. Meskipun belum sekolah, dia bisa membaca dan menggambar. Karena sakitnya ini, dia memang belum saya sekolahkan. Saya berencana menyekolahkannya bila ia sudah sembuh. Untuk saat ini, ia hanya diajari oleh kakaknya, Malik (14).
Sehari-hari kami hidup dengan uang pas-pasan. Sebelum Siti menjalani operasi pertamanya, istri saya jadi kuli cuci di sebuah perumahan di kawasan Bekasi. Tapi setelah Siti dioperasi, istri saya praktis tinggal di rumah saja agar lebih total merawat Siti. Demi merawat Siti pula, pekerjaan saya sebagai buruh pabrik ikut terganggu.
Saya pernah bekerja di sebuah pabrik ban dan dipercaya mengawasi beberapa pekerja lain di sana. Jika ada pekerja lain tak masuk kerja dua sampai tiga hari, atasan saya pasti marah. Dia pun marah kepada saya, tapi dia tahu anak saya sakit. Sampai sekarang sebetulnya saya belum resmi berhenti dari pabrik itu, tapi saya tak tahu apakah akan diterima bekerja kembali atau tidak jika Siti pulang nanti. Sekalinya Siti dioperasi, saya bisa tak masuk kerja sampai satu bulan.
Untuk mengumpulkan uang makan sehari-hari saya hingga sebesar Rp 500 ribu, saya perlu waktu lama untuk mengumpulkannya. Upah saya biasanya sudah habis untuk biaya anak sekolah dan kebutuhan lainnya. Andai saya bisa mengumpulkan uang sebesar itu, sudah pasti akan saya habiskan untuk mengobati Siti. Selanjutnya, akan saya kumpulkan uang lagi, begitu seterusnya.
Buat saya, meskipun saya kesulitan membiayai pengobatan Siti, tapi anak sulung saya, Malik, tetap harus sekolah. Bagaimana pun caranya yang penting halal, anak saya harus tetap sekolah karena cuma dia anak saya yang bersekolah dan jadi harapan saya. Sebagai orangtua, saya dan istri jelas sudah tidak bisa 'bergerak' lagi karena sudah jadi begini.
Anehnya, di saat saya dan keluarga sedang susah begini, ada saja orang berniat jahat menghampiri kami. Kemarin saja, misalnya, di awal November lalu, ada seorang ibu datang ke ruang tempat Siti dirawat (Siti dirawat di Ruang Isolasi Yohanes, Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta, Red.). Bahasanya halus sekali dan ia mengenakan jilbab. Ibu ini mengaku keponakan Ibu Fadilah (Fadilah adalah orang yang pertama kali membantu Deden mencarikan donatur untuk membantu biaya pengobatan Siti, Red.). Tanpa menyelidiki lebih jauh, saya langsung percaya saja kepadanya.
KOMENTAR