Sebenarnya, Andri dan kawan-kawannya sudah tidak betah bertahan. Namun mereka ingin memperjuangkan nasib. Mereka ingin kepastian. Karena tidak ada titik temu, Andri dan dua rekannya melaporkan masalah ini ke Sudin Disnakertrans Jakarta Utara pada Desember 2010. Mereka mengungkapkan gaji yang tidak tepat waktu selama 18 bulan dan THR yang hanya dibayar setengahnya. Juga soal uang makan yang jumlahnya minim, hanya Rp 5 ribu. "Sejak lapor, uang makan malah distop," cetus Yuli.
Meskipun sudah lapor secara resmi ke Disnaker, tetap saja tak ada tanggapan dari perusahaan. "Kantor Sudin sudah tiga kali melakukan pemanggilan tapi pihak perusahaan tidak mau datang. Jadi, mediasi pun gagal. Bahkan, saya pernah dengar ledekan dari direksi. Katanya, 'Enggak lapor Disnaker lagi?' Wah, ungkapannya sangat menyakitkan," ujar Andri.
Pihak Disnaker pun mengeluarkan anjuran, perusahaan harus memutuskan PHK dan membayar mereka bertiga sekitar Rp 150 juta. Angka pesangon ini merujuk pada UU yang ada. "Meskipun sudah ada anjuran, tetap saja tidak ada tanggapan," kata Andri dan dua temannya yang semula mengaku awam soal ini.
"Kami mencoba browsing di internet, ingin tahu sebenarnya masalah kami ini ada di mana. Akhirnya kami pun tahu. Masalah kami bisa ditemui di UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 pasal 169 ayat 1 huruf C."
Dalam UU itu disebutkan, "Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu setelah itu."
Dari hasil berselancar di dunia maya itulah Andri dan rekan-rekannya bisa kontak dengan Fisbi (Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia). "Kami sering konsultasi dengan Fisbi," kata Andri yang bertekad menuntaskan masalah ini.
Karena perusahaan tidak kunjung ada tanggapan, Andri dan dua rekannya lapor ke Pengadilan PHI (Perselisihan Hubungan Industrial). "Kami tampil bertiga tanpa didampingi pengacara, sedangkan perusahaan diwakili pengacaranya. Oh ya, karena nilai total pesangon kami menurut hitungan UU sebesar Rp 150 juta lebih, kami diwajibkan membayar biaya perkara. Kami patungan."
Setelah beberapa kali sidang, Andri dan dua rekannya harus kecewa. Hakim tidak mengabulkan gugatan mereka. Hakim memutuskan tidak terjadi pemutusan hubungan kerja. Artinya, Andri dan kawan-kawan harus kembali bekerja di Megah Buana. "Masalahnya, sudah tidak ada pekerjaan. Bahkan, ketika kami mulai lapor PHI, semua barang-barang kami dikeluarkan. Ruangan kami dikunci. Tapi kami tetap masuk kantor mulai jam 08.00-16.00."
Upaya Lain
Sampai di sini, tiga sekawan ini tidak menyerah. Mereka tetap tidak mau mengundurkan diri, yang berarti menyerah. "Kami mesti tetap berjuang. Akhirnya kami mengajukan Pengujian UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini saya tampil sendirian mewakili teman-teman," kata Andri.
Senin (16/7) lalu, MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan mereka. Artinya, mereka berhak mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama tiga bulan berturut-turut atau lebih. "Konsekuensi dari keputusan ini, kami mesti di-PHK. Perusahaan juga harus membayar pesangon kepada kami bertiga sebesar Rp 150 juta lebih," ujar Andri.
Sayangnya, kembali ibu tiga anak ini harus menelan kekecewaan. Tak ada respons apa pun dari perusahaan. "Bahkan, kantor kami sudah digembok. Tidak ada kegiatan apa pun di sana. Kami akan menunggu sampai beberapa hari. Kalau mereka tetap tidak ada tanggapan, kami akan berupaya lain. Kami belum tahu apakah bisa mengajukan gugatan perdata atau pidana," ujar Andri seraya mengatakan mengurusi kasus ini cukup meletihkan.
"Tapi kami akan tetap berjuang. Untung, suami sekarang mau sepenuhnya mendukung kami. Sebelumnya, suami pernah minta kami menyerah saja atau mengalah. Ini soal nasib yang bisa terjadi kepada para karyawan di mana pun. Mudah-mudahan kasus kami bisa menjadi pembelajaran."
Perjuangan mereka rupanya memang masih panjang.
Henry Ismono
KOMENTAR