Bercerita ke Mama, Papa, atau orang lain pun, saya tidak berani. Dia selalu mengancam agar pemukulan ini tidak sampai keluar (tidak diceritakan ke orang lain, Red.), atau saya akan dipukuli lagi. Sering sekali dia mengancam sambil menodongkan senjata api ke kepala saya. Jelas saya merasa takut dan terancam.
Saking takutnya saya kepada Husein, satu-satunya momen saat saya merasa tenang di rumah adalah ketika dia pergi. Bayangkan saja. Saya bukannya mendoakan agar suami pulang pagi setiap hari, tapi ironisnya itulah yang saya rasakan. Saya lalu memberanikan diri mengajukan gugatan cerai yang sudah putus pada tanggal 8 Maret 2012. Setahun sebelum cerai, saya pulang ke rumah orangtua.
Lalu?
Ternyata masalah saya dengan Husein tak berhenti usai cerai. Pengadilan Agama (PA) Bandung memutuskan hak asuh anak kami jatuh ke tangan Husein. Padahal dia, kan, tergugat dan Sa masih berusia 10 bulan. Harusnya, kan, Sa ikut saya. Terlebih selama setahun pisah rumah, Husein tidak pernah sekali pun menjenguk Sa. Karena tidak terima, saya mengajukan banding. Rupanya keputusan saya untuk banding membuat Husein marah.
Apa yang terjadi?
Dia mulai meneror saya. Intinya, memaksa saya menyerahkan Sa dan mencabut banding. Setiap meneror, dia mengancam akan "menghancurkan" orangtua saya. Saya tahu Husein seperti apa, makanya ketika dia bilang akan menghancurkan keluarga saya, pasti akan dia lakukan tanpa belas kasihan.
Dalam pekerjaannya saja, setiap ada masalah dia selalu kirim preman untuk menyelesaikannya. Dia juga pernah mengirim preman untuk mencegat saya yang saat itu sedang menyetir mobil. (Husein dulu bekerja di sebuah perusahaan sekuritas, Red.). Namun semua yang dilakukan Husein, seperti meminta Sa kembali, menurut saya bukanlah bentuk rasa sayang. Dia melakukan itu hanya untuk menyiksa saya. Dia tahu, tanpa anak saya akan hidup menderita.
Astudestra Ajengrastri/ bersambung
KOMENTAR