Apa kabar?
Puji Tuhan, baik. Sudah hampir tiga minggu saya di sini. Untungnya saya masih diberi kebebasan cukup, jadi setiap Minggu saya masih bisa melakukan kebaktian dan berdoa. Saya memang lebih banyak berdoa agar kuat menjalani persoalan ini.
Sudah bertemu Sa? (Sa adalah putra tunggal Ing dari pernikahannya dengan Husein. Saat ini Sa yang masih berusia 16 bulan berada dalam pengasuhan ayah dan ibu Ing).
(Ing menghela napas panjang, terdiam sejenak.) Saya memang memilih tidak bertemu anak saya sekarang. Saya tidak ingin dia melihat saya seperti ini. (Ing mulai terisak.) Ini mungkin keputusan terberat dalam hidup saya, tapi saya rasa ini yang terbaik. Saya tidak ingin Sa memiliki memori seperti ini tentang saya, ibunya. Daripada dia punya memori negatif, lebih baik dia tidak memiliki memori sama sekali tentang saya. (Ing menundukkan kepala dan menangis.)
(Chandra, ayah Ing lalu berkata, "Saat ini Sa sehat dan keadaannya baik-baik saja. Hanya ketika main iPad, dia sering teringat Ing dan memanggil-manggil ibunya.")
Sebenarnya, bagaimana semua ini bisa terjadi?
(Ing kembali menghela napas.) Mungkin saya harus bercerita dari awal. Saya dan Husein menikah tahun 2005. Awalnya pernikahan kami berjalan biasa saja layaknya pasangan normal lainnya. Enam bulan setelah menikah, perangai Husein mulai kasar. Dia kerap pulang pagi, mabuk-mabukan, dan memukuli saya. Bahkan sampai saya akhirnya hamil empat bulan, dia pernah memukul sampai saya terguling dari tangga. Saya sampai harus memeriksakan kandungan ke Singapura. Untung janin saya tidak apa-apa.
Sebenarnya, hobinya pulang pagi dan mabuk-mabukan sudah berlangsung sejak sebelum menikah. Tapi dia berjanji kepada saya kebiasaan itu akan berhenti setelah menikah. "Itu masa lalu," katanya. Nyatanya, sampai kami punya anak, dia tidak juga berubah. Malah makin parah karena dia mulai mengonsumsi narkoba. Saya tidak tahu persis apa jenis narkoba yang dipakainya.
Bagaimana perlakuan Husein kepada Sa?
Yang jelas, ketika dia mengaku sayang sama saya dan anak, dia tidak pernah menunjukkannya. Saat saya melahirkan memang dia menemani tapi setiap malam dia datang ke rumah sakit (RS) sambil mabuk-mabukkan bersama teman-temannya. Setiap pagi, suster yang membereskan kamar saya sampai geleng-geleng kepala karena di pojok kamar terdapat botol-botol minuman keras kosong.
Bercerita ke Mama, Papa, atau orang lain pun, saya tidak berani. Dia selalu mengancam agar pemukulan ini tidak sampai keluar (tidak diceritakan ke orang lain, Red.), atau saya akan dipukuli lagi. Sering sekali dia mengancam sambil menodongkan senjata api ke kepala saya. Jelas saya merasa takut dan terancam.
Saking takutnya saya kepada Husein, satu-satunya momen saat saya merasa tenang di rumah adalah ketika dia pergi. Bayangkan saja. Saya bukannya mendoakan agar suami pulang pagi setiap hari, tapi ironisnya itulah yang saya rasakan. Saya lalu memberanikan diri mengajukan gugatan cerai yang sudah putus pada tanggal 8 Maret 2012. Setahun sebelum cerai, saya pulang ke rumah orangtua.
Lalu?
Ternyata masalah saya dengan Husein tak berhenti usai cerai. Pengadilan Agama (PA) Bandung memutuskan hak asuh anak kami jatuh ke tangan Husein. Padahal dia, kan, tergugat dan Sa masih berusia 10 bulan. Harusnya, kan, Sa ikut saya. Terlebih selama setahun pisah rumah, Husein tidak pernah sekali pun menjenguk Sa. Karena tidak terima, saya mengajukan banding. Rupanya keputusan saya untuk banding membuat Husein marah.
Apa yang terjadi?
Dia mulai meneror saya. Intinya, memaksa saya menyerahkan Sa dan mencabut banding. Setiap meneror, dia mengancam akan "menghancurkan" orangtua saya. Saya tahu Husein seperti apa, makanya ketika dia bilang akan menghancurkan keluarga saya, pasti akan dia lakukan tanpa belas kasihan.
Dalam pekerjaannya saja, setiap ada masalah dia selalu kirim preman untuk menyelesaikannya. Dia juga pernah mengirim preman untuk mencegat saya yang saat itu sedang menyetir mobil. (Husein dulu bekerja di sebuah perusahaan sekuritas, Red.). Namun semua yang dilakukan Husein, seperti meminta Sa kembali, menurut saya bukanlah bentuk rasa sayang. Dia melakukan itu hanya untuk menyiksa saya. Dia tahu, tanpa anak saya akan hidup menderita.
Astudestra Ajengrastri/ bersambung
KOMENTAR