Besoknya, tanggal 2 Januari 2012, Bapak terlihat gelisah. Saya langsung keluarkan bukti (pembayaran telepon) itu dan tanya, "Pak, kok, ini ada bukti pembayaran telepon atas nama BRD?" Bapak masih menyangkal. Kesal, saya bilang saja, "Kalau memang mau bayarin pulsa handphone dia, bayar juga tagihan telepon anak-anak kita. Jadi fair. Masak anak kita habis pulsa, suruh sopir beli pulsa?"
Dia marah dan kembali berteriak, "Saya cerai kamu! Keluar dari rumah ini!" Saya jawab, "Ingat, Pak, kita sudah menikah 38 tahun. Ini sudah tahun baru, Bapak tidak berubah juga." Dia bilang, "Saya enggak perlu! 38 tahun enggak ada guna buat saya. Kamu juga cuma bikin repot." Saya bilang, "Oke. Terima kasih." Lalu saya keluar kamar.
Saya kemudian bertekad tidak akan minta maaf. Saya mau dia yang minta maaf. Saya tunggu sampai tiga hari, satu minggu, satu bulan, sampai akhirnya dia menggugat cerai saya pada 29 Februari 2012.
Apa alasan menggugat cerai?
Tidak ada alasan. Dari pengacaranya (Tumpal H Hutabarat, SH) saya hanya dikasih tahu, Bapak ingin segera cerai. Aneh, kan?
Memang seperti apa sosok Pak Freddy yang dulu?
Dulu dia pria yang baik, sayang keluarga dan amat mesra. Waktu melamar saya, dia menyampirkan baju tentaranya ke pundak saya sambil meminta saya menjadi istrinya. Belahan jiwanya. Mesra sekali. Tapi semenjak ada kejadian ini, entahlah.
Bagaimana dengan anak-anak?
Mereka komunikasi hanya sebatas, "Pak, aku perlu ini." Itu saja. Kalau duduk mengobrol seperti keluarga... (Annie terdiam lalu menggelengkan kepala). Saya terkadang sedih karena saat anak-anak sudah dewasa seperti ini, kami harusnya bimbing mereka supaya kalau mereka berkeluarga juga baik. Tapi apa yang mau mereka contoh dari kami? Sebagai ayah yang mereka idolakan saja, dia kasih contoh seperti lansia yang berjiwa ABG (anak baru gede). Tapi saya tidak ingin melibatkan anak-anak dalam hal ini.
(Annie dan Freddy memiliki dua anak perempuan. Si sulung sudah berkeluarga dan bekerja sebagai arsitek, sementara si bungsu bergelar dokter dan masih lajang).
KOMENTAR