Sebuah ruang khusus di lantai 2 Hotel Grand Mahakam, Jakarta, Rabu (16/5), menjadi saksi bisu perbincangan pribadi empat mata antara PB XIII Hangabehi dan PB XIII Tedjowulan. Tidak tahu apa saja yang dibicarakan dua pria yang sejak tahun 2004 sama-sama bergelar PB XIII itu.
Sore itu, keduanya duduk di kursi kayu bergaya Betawi dalam smooking room. Raut wajah keduanya yang semula tegang, lambat laun mencair, hingga terlihat berbincang santai diselingi canda-tawa sembari minum teh dan kopi. "Sebelum berbincang keduanya sudah berpelukan di hadapan Mooryati Soedibyo. Kala itu Bu Moor bersama Sinuwun PB XIII Tedjowulan menunggu kedatangan PB XIII Hangabehi keluar dari kamar hotel sejak jam 15.00. Baru jam 16.45, PB.XIII Hangabehi memasuki lantai 2 hotel. Kakak-adik itu langsung berpelukan. Tidak ada kalimat apa pun yang terucap dari keduanya," terang KRH. Bambang Pradotonagoro, SH, juru bicara Dwi-Tunggal.
Setelah sama-sama melepaskan pelukannya, Sinuwun Tedjowulan berucap, "Mangga Kang Mas ngrokok rumiyin." Setelah itu keduanya menuju ke smooking room.
Bukan Rekonsiliasi Dadakan
Usai berbincang empat mata, Hangabehi dan Tedjowulan keluar ruangan dan mengungkapkan kesiapannya untuk menandatangani Maklumat Bersama kesepakatan bersama untuk rekonsiliasi guna memimpin pengelolaan, pelestarian, dan pembangunan Keraton Surakarta Hadiningrat bersama-sama.
Singkat cerita, dalam maklumat yang telah disetujui bersama, Tedjowulan dengan kebesaran jiwanya menyatakan ikhlas melepas gelar PBXIII lalu menerima kedudukan baru sebagai Mahapatih dengan menyandang gelar Kangjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung Tedjowulan. Sementara Hangabehi ikhlas didampingi sang adik untuk menjalankan kepemimpinan dan pengelolaan Keraton Surakarta bersama-sama sebagai Dwi-Tunggal.
Duet Hangabehi-Tedjowulan dalam menyelenggarakan kepemimpinannya ke depan juga akan didukung oleh Paran Paranata dan Paran Parokarso yang terdiri dari pejabat pemerintah pusat dan daerah, pakar dan budayawan berdedikasi. Paran Paranata dan Paran Parakarso ini ditetapkan oleh Dwi-Tunggal.
Kenapa Tedjowulan akhirnya mau melepas gelar PB XIII yang disandangnya sejak 2004? "Sebagai adik, beliau mengalah demi eksistensi dan kejayaan Keraton Surakarta. Hikmah dari rekonsiliasi juga akan membuat masyarakat lega. Juga bisa menjadi kaca benggala bagi pemerintah pusat," terang Bambang.
Rekonsiliasi untuk mengakhiri "matahari kembar" itu, tegas Bambang, bukan acara dadakan. Putra-putri PB XII yang ada di pihak Tedjowulan, menurut Bambang, mengharapkan terjadinya rekonsiliasi. Maka sejak tiga tahun lalu dibukalah upaya rekonsiliasi. Masuknya peran pemerintah sejak setahun belakangan ini juga turut memperlancar proses ke arah terciptanya perdamaian.
"Ada permintaan Gubernur Jateng dan Walikota Solo kepada Menteri Pariwisata pada saat itu, Jero Wacik, agar persoalan dua raja segera diselesaikan. Dari situlah disusun langkah beberapa kali pertemuan. Tapi saat itu belum ada wacana rekonsiliasi."
Terlepas dari peran pemerintah, ada orang-orang di "ring satu" di sekitar Hangabehi dan Tedjowulan yang juga membantu terwujudnya rekonsiliasi itu. Awalnya, kata Bambang, ada satu orang terdekat Hangabehi yang memfasilitasi terciptanya pembicaraan dua raja via telepon. Hal seperti itu tidak hanya terjadi sekali. Komunikasi kakak-adik pun ditindaklanjuti dengan "jumpa darat". Akhirnya, terjadi kesepakatan pertemuan di Hotel Grand Mahakam, Jakarta.
Menurut Bambang, Hangabehi menginginkan Tedjowulan diberi gelar dan nama yang bagus. "Saat pertama kali saya dipanggil masuk ke ruang pertemuan, masih ada perdebatan tentang kedudukan Sinuwun Tedjo. Awalnya di draft itu sebagai Wakil Dalem. Akhirnya disepakati sebagai Mahapatih. Lalu Sinuwun Tedjo mengusulkan nama Panembahan Agung. Sinuwun Hangabehi setuju."
Selama terjadi perdebatan, Walikota Solo Jokowi menunggu di luar ruangan. Sekitar jam 19.00, draft rekonsiliasi disepakati kedua belah pihak. Malam itu juga Maklumat langsung ditandatangani oleh Hangabehi dan Tedjowulan dengan disaksikan Walikota Solo Jokowi dan Mooryati Sudibyo. Maklumat itu juga ditandatangani oleh Ketua DPR RI, Menteri PU, Pariwisata, Pariwisata dan Kreatif, Mendiknas, Gubernur Jateng, dan Walikota Solo.
Rekonsiliasi itu diharapkan akankembali mempersatukan kembali keluarga besar Keraton Surakarta, sentono, dan abdi dalem yang sempat terbelah. Rekonsiliasi itu sudah disosialisasikan kepada para kerabat Keraton Surakarta di Jakarta dalam acara tasyakuran di kediaman Mooryati Soedibyo di Jakarta, Minggu (20/5). Dalam acara itu juga dibacakan Maklumat Bersama yang sudah ditandatangani bersama. Selanjutnya, sosialisasi yang sama juga dilakukan di Surakarta.
"Sinuwun PB XIII dan Panembahan Agung juga akan bertemu dengan para sentono dan para putra mendiang PB XII yang bergelar KGPH, plus GPH Madukusumo, GPH Suryowicaksono, keduanya adik Sinuwun Hangabehi. Dalam kesempatan ini sudah tidak relevan lagi bicara bahwa mereka adalah putra satu ayah lain ibu. Agenda utama Dwi-Tunggal adalah mengajak bicara tentang nasib Keraton Solo ke depan."
Agenda Dwi-Tunggal selanjutnya masuk Keraton Solo dengan damai. Yang jelas, kata Bambang, Dwi-Tunggal meminta maaf kepada masyarakat luas bila selama 8 tahun perpecahan itu, telah mengganggu masyarakat. Dan pada Kamis (24/5) lalu Pemerintah Kota Solo serta Muspida menyambut kedatangan PB XIII Hangabehi dan KGPHPA Tedjowulan bersama keluarga.
Aroma haru bunga melati bercampur irisan daun pandan memenuhi lobi Balai Kota. Di depan pintu masuk juga dihiasi janur melengkung seperti akan ada hajatan. Penyambutan kedatangan para penguasa keraton menurut Walikota Jokowi adalah salah satu bentuk dukungan pemerintah pusat, provinsi, dan Kota Solo untuk pelestarian keraton sebagai pusat budaya Jawa.
Dua perempuan yang ikut berbahagia dalam rekonsiliasi itu adalah GKR Mas, istri KGHPA Tedjowulan, dan RAy Pradapaningsih, garwa ampil PB XIIIHangabehi. "Saya lega, bangga, dan bahagia. Setelah sekian lama, sekarang rukun kembali," ujar GKR Mas.
Keraton Surakarta pun tengah memulai babak baru.
Rini Sulistyati
KOMENTAR