SUKRI "SUKUN BAKERY" Tak Hanya Digoreng & Direbus
Sungguh kreatif apa yang dilakukan lima mahasiswa UGM Program Studi Ilmu Gizi Kesehatan dan Program Studi Pendidikan Kedokteran. Sejak Juni 2010 mereka telah mengolah berbagai kue dan camilan dari tepung sukun, yang biasanya hanya digreng, direbus, atau dijadikan keripik saja.
Mereka adalah Muh. Ridwan Ansari, Gentur Adi Prabowo, Inna Rachmawati, Diah Nurpratami, dan Dewi Masyitoh Mubarok yang menamakan produknya SUKRI "Sukun Bakery", yang berhasil membuat cake, pukis, aneka cookies, donat, bolu, bubur sumsum, kue lapis, pastel, fresh roll, muffin, cheese stick, hingga pizza.
Manajer Marketing & Promosi SUKRI, Gentur Adi Prabowo, menjelaskan, potensi pasar tepung non-terigu dan beras jarang ditemui sehingga menjadi potensi bagi mereka yang ingin mencoba mengangkat nilai ekonomi sukun dan mempopulerkan bahan pangan lokal. "Terlintas sukun karena memang potensinya di Jogja dan sekitarnya sangat besar. Jadi akan terjamin untuk bisa terus berproduksi. Kandungan gizinya juga tinggi," tutur Prabwo, mewakili teman-temannya.
Dari Jl. Meliwis, Gg. Merak 9A, Yogyakarta, aneka olahan sukun siap disajikan bagi warga DIY, dan disebarkan di sejumlah outlet dan minimarket di Kota Gudeg. "Soal rasa, tak kalah dengan kue-kue lain. Malah sensasi rasa sukunnya lebih terasa, terlebih untuk kue kering yang menggunakan lebih banyak tepung sukun," papar Prabowo.
Tepung sukun diperoleh dari sejumlah pemasok dari wilayah Gunungkidul, Wonolelo Bantul, dan sekitarnya karena tepung yang dihasilkan lebih bersih dan gurih. "Kami bekerja sama dengan kelompok wanita tani Wonolelo. Mereka memang biasa membuat tepung sukun, tapi sebelumnya peminatnya sedikit. Setelah kami mulai memproduksi secara kontinyu, akhirnya banyak dari kelompok tani yang terinspirasi mengolahnya ke bentuk makanan," lanjut prabowo.
Untuk mendapatkan pemasok, kata Prabowo, awalnya memang tak mudah. Mereka harus mencarinya sendiri sampai didapatkan tepung sukun berkualitas baik. "Selama ini SUKRI juga belajar menepung sukun dari daerah yang memiliki kualitas terbaik agar hasil pengolahannya juga baik. Semula produksinya sedikit sekali, hanya 2 kg tepung sukun untuk menghasilkan 200-an produk SUKRI," papar mahasiswa angkatan 2008 ini.
Soal harga, SUKRI membanderol produknya dengan harga terjangkau, mulai Rp 500 per donat, sampai Rp 50 ribu untuk berbagai varian cake. "Alhamdulillah respons masyarakat cukup baik, setidaknya banyak yang menanyakan untuk menjadi mitra di luar kota. Padahal saat ini kami masih fokus membesarkan dulu di Jogja," imbuh Prabowo.
Pemasaran yang dilakukan SUKRI saat ini, meski hanya lewat media sosial Facebook (FB) dengan nama SUKRIlicious, namun sudah banyak mengundang perhatian para pemilik akun Facebook. Terbukti dari banyaknya peminat yang ingin jadi agen kue olahan sukun. "Untuk sementara ini masih teman-teman di berbagai kampus di Jogja dulu yang jadi agen kita."
Prabowo menambahkan, ke depannya SUKRI diharapkan bisa terus meningkatkan produksi dan menularkan ke yang lain untuk mendiversifikasi bahan pangan lain menjadi penganan yang bernilai ekonomi tinggi dan menjadi kebanggaan bagi daerahnya dan Indonesia. "Bahan pangan di Indonesia banyak sekali. Semoga ini menjadi triger untuk mengembangkan makanan yang berkualitas dan bergizi."
Di Jl. HOS Cokroaminoto 97, Yogyakarta, Firmansyah Budi Prasetyo (30), sang pemilik Cokro Tela Cake, menjual berbagai kue olahan singkong. Sarjana hukum lulusan UGM ini mengaku menjalani bisnisnya tidak secara instan. Sebelumnya, ia pernah berjualan Tela Krezz yang sukses dan akhirnya berekspansi mengolah singkong menjadi penganan yang lebih bervariasi,.
"Singkong di wilayah Jogja sangat berlimpah, apalagi belum banyak yang mengembangkan dan mengolahnya jadi makanan yang lebih modern. Jadi ini potensi bisnis yang sangat besar dan bisa menggeser imej singkong sebagai penganan ndeso," terang Firman menjelaskan ketertarikannya mengolah singkong.
Menurutnya lagi, membuat tela cake membutuhkan proses cukup panjang dan harus melalui trial error berkali-kali. Sebab referensinya dalam membuat cake berbahan singkong ketika itu masih minim.
Namun semua pengorbanannya terbayar. Saat ini Firman sudah memiliki lima gerai Cokro Tela Cake yang tersebar di Jogja. Bahkan, pandangan miring mengenai singkong sebagai makanan desa pun berhasil diubahnya. "Saat ini Cokro Tela Cake sudah menjadi salah satu oleh-oleh Jogja yang wajib dibeli. Apalagi pilihan rasanya juga sudah makin variatif. Bisa bikin orang penasaran dan ingin nyoba semuanya," kata pria yang sering meraih penghargaan sebagai enterpreuner muda.
Tela cake tersedia dalam beragam varian rasa. Moka, kacang, blueberry, cokelat, strawberry, dan keju. Belum lagi Kassava Brownies Tela yang baru-baru ini diluncurkannya sebagai produk yang sudah diwaralabakan, karena banyaknya permintaan yang ingin membuka gerai tela cake seperti Firman.
"Terbukti, bahan singkong yang ndeso ini tetap bisa diolah jadi makanan yang bernilai ekonomi tinggi, bahkan digemari. Apalagi kandungan tepung singkong juga memiliki nilai gizi cukup tinggi," jelasnya. Soal rasa, Firman juga meyakinkan, tak kalah enak dari cake yang diolah dari tepung terigu dan beras. Bahkan ia menjamin, cake-nya memiliki sensasi rasa berbeda.
Soal harga pun tela cake cukup terjangkau, meski dengan kualitas premium. Alasannya, Firman ingin makanan ciptaannya bisa dinikmati siapapun. "Harganya relatif murah, semua cake dijual mulai harga Rp 23-25 ribu. Sebelum beli, harus mencicipi dulu agar benar-benar bisa merasakan sensasi rasa singkongnya," tuturnya setengah berpromosi.
Selama 4 tahun mengembangkan Cokro Tela Cake, Firman juga memproduksi berbagai penganan lain olahan singkong, yakni nugget dan ice cream singkong. "Saya bersyukur bisnis ini berkembang pesat, apalagi kini sudah bisa memproduksi 200 sampai 1000 tela cake dengan omset sekitar Rp 10-20 juta per harinya."
Swita A Hapsari
KOMENTAR