Komunitas Klampis Ireng sebenarnya komunitas perajin batik di Surabaya. Komunitas ini dimotori oleh Prima Amri yang bertindak sebagai pembina. Prima sebenarnya bukan perajin batik tulen. Pekerjaan utamanya pengacara. Namun berkat kecintaannya pada batik, ia mau meluangkan waktu membina ibu-ibu di kampung-kampung untuk belajar membatik.
Menurut Prima, ia berkecimpung di dunia batik dimulai sekitar tahun 1998. Ketika itu ia menerima tawaran program dari organisasi Lions Club Padma Surabaya untuk pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan membatik. Tertarik, Prima pun berpartisipasi dalam program itu. Namun memberdayakan ibu-ibu lewat batik ternyata bukan pekerjaan mudah.
Sejak 1998 hingga kini tercatat hanya puluhan perajin saja yang berhasil dibinanya di Surabaya. Para perajinnya tersebar di daerah Dukuh Kupang, Banyu Urip, dan Bubutan. Selain Surabaya, Prima juga memiliki perajin binaan di kota lain. "Tapi sekarang yang aktif di Surabaya cuma ada sembilan perajin. Selebihnya baru aktif kalau ada event," terang Prima.
Saat ditemui NOVA, Prima sedang mengadakan pertemuan di rumah Suparti, perajin binaannya di Dukuh Kupang, Gang Lebar, Surabaya. Selain Suparti, di pertemuan itu ada Karni dan Menik, dua perajin batik dari kawasan Banyu Urip Surabaya. Mereka asyik mendiskusikan soal batik, dari soal hasil karya setiap perajin, pengenalan motif baru, teknik pewarnaan, hingga tawaran mengikuti lomba desain batik yang diselenggarakan Dinas Perindustrian Jatim. "Setiap bertemu, ya, begini. Berdiskusi soal hambatan hingga memperkenalkan motif maupun teknik membatik yang baru," ucap Prima.
Di Komunitas Klampis Ireng ini tak ada batik motif khusus yang ingin diusung sebagai ciri khas batik Surabaya. Berdasarkan pengalaman, kata Prima, motif khusus batik Surabaya seperti ikan hiu dan buaya justru malah sepi peminat. "Kami, sih, mengikuti selera pasar saja. Kalau di pasar lagi laku motif A, kami produksi motif A yang sedang laku itu," terang Prima lagi.
Untuk memasarkan produk karya anggotanya, Prima dan para perajin pun tak terlalu risau. Sebab berapa pun batik yang berhasil mereka produksi selalu terserap pasar. Mereka mengaku sangat terbantu dengan keberadaan sejumlah online shop dari Komunitas Batik Surabaya (Kibas). "Malah sering terjadi, kami pameran tapi batiknya pinjam dari para pembeli. Soalnya batik kami sudah laku semua," kata Prima.
Kendati menyatakan motif khusus batik Surabaya kurang laku, bukan berarti anggota Klampis Ireng kapok membuat batik beridentitas Surabaya. Saat ini, misalnya, Prima bahkan tengah memperkenalkan motif batik sugeng rawuh kepada para perajinnya. Dalam motif sugeng rawuh ini ditampilkan ikon Surabaya seperti tugu pahlawan dan penari Remo.
Namun motif penari remo ini, kata, Prima pernah dianggap aneh dan menyalahi pakem batik yang sudah ada oleh seorang pencinta batik. Aneh, karena penggambaran penari remo ditampilkan jelas sebagai manusia yang tengah menari. Padahal dalam batik jarang menampilkan penggambaran manusia secara jelas. Biasanya disamarkan dengan motif bunga atau lainnya.
"Tapi tak jadi soal karena si pencinta batik itu tetap minta kami melanjutkan membuatnya. Dia ingin tahu jadinya akan seperti apa," kata Prima menirukan komentar sang pencinta batik yang memesan batik padanya.
Desain batik "suka-suka" ala Prima dan para perajinnya ini, menurut Prima, justru bisa menjadi identitas batik Surabaya yang sesuai dengan karakter orang Surabaya yang dikenal lugas. Ia juga menambahkan, justru karena Surabaya tak punya tradisi batik sehingga tak perlu risau jika dikatakan menabrak pakem yang sudah ada. "Menurut saya motif batik itu harus mewakili zamannya. Jadi terserah saja pada para perajin mau buat motif seperti apa," pungkasnya.
Benarkah Surabaya sama sekali tak memiliki tradisi membatik? Berikut penuturan Ketua Komunitas Batik Surabaya Lintu Tulistyantoro, yang juga berprofesi sebagai dosen desain interior di Universitas Kristen Petra Surabaya.
Benarkah Surabaya tak punya tradisi batik?
Saya yakin tiap kota pasti punya tradisi membatik. Karena batik adalah pakaian rakyat. Apalagi Surabaya dulu ada Kadipaten Surabaya yang dipimpin Pangeran Pekik. Namun Pangeran Pekik berhasil ditaklukkan Mataram. Satu gejala umum ketika ada daerah yang menjadi besar, kemudian daerah sekelilingnya pasti berorientasi ke yang besar. Mataram berkembang menjadi Yogyakarta dan Surakarta.
Akhirnya dua kota di Jateng ini menjadi patokan gaya hidup. Sama dengan sekarang, orang saat ini berkiblat ke Jakarta. Karena Jakarta menjadi pusat informasi, uang, dan sebagainya. Saya yakin Surabaya punya tradisi membatik tapi tidak terlacak saja. Soalnya semua jadi berkiblat ke Yogyakarta dan Surakarta.
Apa tanggapan Anda jika ada yang mencoba menciptakan batik Surabaya?
Memang sempat dimunculkan identitas batik Surabaya seperti yang dilakukan Putu dengan motif batik ikan hiu dan buaya. Itu salah satu pencarian jatidiri yang divisualkan seseorang. Ini sah-sah saja. Tapi menurut saya yang paling memungkinkan untuk digarap adalah batik mangrove karya Lulut. Karena Lulut mengawali batik tanpa ada pertalian dengan batik kuno.
Selain itu, Lulut juga ada misi pemberdayaan masyarakat melalui batik. Saya juga melihat ada ekspresi seni batik mangrove yang berbeda. Kemudian teknik pewarnaan yang menggunakan limbah mangrove dan bahan alami lainnya bisa menjadi nilai tambah. Meski sebenarnya hutan mangrove terdapat di sepanjang Pantai Utara Jawa, tapi sampai sekarang belum ada daerah lain yang memunculkan ide batik mangrove.
Potensi lainnya saya lihat di Komunitas Klampis Ireng. Basis mereka memang bukan perajin batik, tapi juga bukan benar-benar tak mengerti batik. Jika dikembangkan akan muncul batik Surabaya, tanpa menyingung batik dari daerah lain. Selain itu, Klampis Ireng berasal dari anak-anak muda yang cukup bebas. Kerangka berpikirnya tak terbatasi. Batik tidak harus parang atau kawung, sehingga bisa lebih variatif.
Bagaimana cara menghidupkan kembali batik Surabaya? Saat ini batik Surabaya tergolong mahal.
Sebetulnya jangan menutup mata dengan daerah lain. Misalnya saja di Pamekasan. Daerah ini sangat unik karena bisa memenuhi kebutuhan batik untuk semua level masyarakatnya. Di daerah ini masih tersedia batik tulis dengan harga di bawah Rp 100 ribu, kok. Mereka menyiasatinya dengan tidak bermain di kehalusan bahan atau di kerumitan motif. Sehingga harga bisa ditekan.
Tapi untuk membuat batik dengan harga murah seperti buatan Pamekasan tentu saja tak mungkin karena upah minimum (UMR) perajin di Surabaya berbeda dengan Pamekasan. Mereka mengerjakan batik bukan sebagai pekerjaan utama melainkan sambilan di saat musim tanam.
Jika mau seperti di Pamekasan, bisa saja. Misalnya bermain di desain yang lebih simpel. Atau siasat kedua, menggunakan batik cap, bukan print. Batik printing tak termasuk batik. Pengertian batik printing adalah produk tekstil bermotif batik. Jujur saja kami tidak mendukung karena proses print akan mematikan perajin batik. Dalam batik kan mengandung unsur malam dan tangan para perajinnya.
Amir Tejo
KOMENTAR