Jika Allah telah berkehendak, apa pun bisa terjadi. Dan kendati harus begini jalannya, aku mencoba ikhlas. Selama 12 hari anak lelaki pertamaku, Muhammad Fikriansyah Apriano atau Rian (18), dinyatakan hilang dalam kecelakaan pesawat. Sejak hari itu, kami menunggu dalam ketidakpastian. Rian dan puing-puing pesawat Cessna baru ditemukan 28 November lalu. Aku memang bisa melihatnya lagi, tapi untuk terakhir kalinya sebelum ia dikubur di liang lahat.
Jenazah Rian tiba di Lanud Halim Perdanakusuma berbalut seragam pilot wearpack oranye. Saat ditemukan, posisi Rian duduk di sebelah kanan pilot dan memeluk kedua rekannya, Agung Febrian (pilot) dan Partogi Sianipar (instruktur). Sengaja tak kuizinkan istriku ikut menjemput. Aku tak kuasa melihatnya terus menangis.
Sebelum ditemukan dalam keadaan tewas, aku begitu yakin, saat pesawat menabrak tebing, ia masih hidup. Berhari-hari aku berharap handphone Rian aktif atau ia mencoba menghubungiku. Namun, telepon yang kutunggu itu tak pernah berdering.
Gantikan Teman
Masih jelas dalam ingatanku saat-saat terakhir bertemu Rian. Sehari sebelum hari naas itu, ia tersenyum riang menyambut kami di Halim Perdanakusuma. Ya, pagi itu Rian diwisuda dari sekolahnya, Nusa Flying International School.
Usai acara wisuda, aku kembali ke kantor, sementara istriku bergegas menjenguk kerabatnya di rumah sakit. Rian sempat mengirim SMS padaku. Katanya ia mau ikut pulang untuk ambil seragam putih-biru. Kalau sudah diwisuda, katanya lagi, ia sudah resmi terbang dengan seragam itu. Sayang, aku dan istriku tak bisa segera menjemput.
Rian memang tak jadi pulang karena tak ada yang menjemput. Malamnya ia mengirim Blackberry Messenger (BBM), hendak pamit terbang esok paginya untuk gantikan rekannya yang berhalangan. Saat itu ia juga minta uang untuk acara perpisahan. Sebagai staf penerbang, Rian memang harus senantiasa siap bertugas. Sisa jam terbangnya pun masih banyak, 20 jam lagi dari target 150 jam terbang. Rutenya, Halim Perdana Kusuma-Cirebon-Curug. Namun, belum sampai Cirebon, kontak dengan pesawat latih itu sudah hilang.
Kabar hilangnya pesawat Rian itu sampai ke kami lewat pihak sekolah. Sungguh tak tergambarkan bagaimana gelisahnya kami sekeluarga. Dalam hatiku tersisa harapan tipis Rian akan selamat. Setelah dua hari pesawat Cessna dinyatakan hilang kontak, aku dan saudaraku berangkat mencari Rian ke pegunungan di sekitar rute penerbangannya. Bersama warga setempat dan tim SAR, kami menyusuri Gunung Burangrang. Perasaanku mengatakan Rian tak ada di sana. Sepanjang pencarian, air mataku tak henti mengalir.
Kamis malam sehabis salat saat mencari di Gunung Lingga, aku seakan diperlihatkan sosok Rian sedang duduk. Istriku juga merasakan hal sama. Ia seperti melihat sosok Rian. "Tapi Rian nangis. Tandanya masih ada kehidupan, Pa. Dia pasti masih hidup," kata istriku. Tiga hari dan tiga titik pencarian kulalui, namun hasilnya nihil. Saat itu aku sudah berpikir, seandainya Rian tak juga ketemu, aku pasrah. Aku lalu menancapkan tombak yang kubawa ke Gunung Lingga. Kalau keluarga ingin berziarah, aku anggap di sanalah Rian dikuburkan.
Sambil terus berjalan mencari Rian, terbayang semua kenangan indah saat ia kecil. Rian kecil memang anak yang penuh semangat. Tiap sepupunya ke sekolah, ia ingin ikut padahal umurnya belum cukup. Lucunya, justru ia yang bangun lebih pagi. Di kelas pun, ia hanya duduk dan tertidur.
KOMENTAR