Selain itu, materi yang disampaikan jaksa saat sidang juga sempat membuat saya syok.
Materi apa itu?
Ternyata mereka sudah merencanakan peristiwa itu sejak awal. Jadi, malam sebelum kejadian, para penagih datang ke rumah untuk meminta Bapak datang ke kantor Citibank. Katanya, utangnya akan dianggap lunas kalau dia membayar 10 persen saja dari total utang. Namun saat itu Bapak menjawab tidak bisa datang karena sudah ada janji. Memang, malamnya Bapak sudah memberitahu saya soal pembayaran utang yang jumlahnya diturunkan oleh Citibank itu.
Pagi harinya, Bapak masih bilang tidak bisa datang ke Citibank karena ada urusan proyek barunya. Entah kenapa, ternyata hari itu dia datang ke Citibank untuk menemui pihak debt collector yang pernah dikenalkan orang Citibank padanya, Oktober 2010. Katanya, utangnya mulai Oktober itu ditangani pihak ketiga.
Jadi, kejadian Irzen dibawa ke ruangan itu juga sudah direncanakan?
Ya, ini semua sudah direncanakan. Pokoknya, ngeri kalau mendengar keterangan jaksa soal perlakuan yang diterima Bapak di sana. Tidak pantas sebuah bank memiliki ruangan (untuk hal-hal) seperti itu di kantornya. Itu sudah melanggar hak asasi manusia! Mendengarnya saja saya merinding.
Saya jadi membayangkan bagaimana Bapak menghadapi peristiwa itu. Sekuat apa pun mentalnya, siapa pun pasti akan merinding, termasuk Bapak yang sebetulnya bermental kuat. Padahal, dia datang ke sana baik-baik, malah menawarkan solusi. Dia mempersilakan rumah yang sudah kami tempati selama belasan tahun ini untuk jadi alat pembayar utang. Kurang apa lagi? Perlakuan terhadap suami saya seperti itu, tidak bisa dimaafkan begitu saja.
Apalagi, ini bank asing, bank asal Amerika yang konon merupakan negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kok, aneh sekali? Bank ini mencari penghasilan di Indonesia dengan memberi kredit yang mudah, tapi mudah pula menghilangkan nyawa orang. Terlebih, Bapak sudah puluhan tahun jadi nasabah.
Sebelumnya memang sudah tahu suami berutang sebanyak Rp 105 juta ke Citibank?
Sebelum para penagih datang ke rumah di bulan Oktober 2010, saya memang tidak tahu-menahu Bapak mengalami kesulitan membayar tagihan. Sejak awal, saya dan Bapak memang berbagi tugas. Dia bertugas mencari nafkah, sementara saya bertanggungjawab untuk urusan rumah tangga dan anak-anak. Mungkin dia tidak ingin membebani saya dengan pikiran soal utang karena saya gampang panik.
Sebetulnya wajar saja bila bank menggunakan pihak ketiga untuk menagih utang. Hanya saja, caranya perlu diperbaiki. Bank, kan, perusahaan bergengsi dan punya banyak uang, pasti bisa memanfaatkan orang yang tepat untuk menagih. Misalnya, menggunakan psikolog untuk mengetahui karakter orang yang ditagih, jadi cara menagih tidak disamaratakan. Sekarang zamannya menggunakan otak. Jadi, jangan menagih melalui orang yang mengandalkan otot. Menagihlah dengan santun. Cara kasar malah tidak menyelesaikan masalah.
Hasuna Daylailatu / bersambung
KOMENTAR