A ku tak pernah sekalipun membayangkan akan tertimpa musibah seperti ini. Harus kehilangan anak bungsuku yang lucu, Nur Rahmatullah (3,5). Bila kematian itu datang secara wajar, mungkin rasa kecewa itu tak akan seberapa menyakitkan. Tetapi, yang membuat perasaan makin terasa pedih, kepergian buah hatiku itu akibat keteledoran tenaga medis RS Dr. Mohamad Saleh, Probolinggo (Jatim).
Semua ini berawal dari kejadian di awal puasa lalu. Malam itu selepas Maghrib anakku minta dibelikan mi pangsit oleh ayahnya. Karena ingin menyenangkan hati anak, suamiku Trio Eka Sukma (33) berusaha menuruti. Suamiku lalu mengeluarkan sepeda pancalnya, selanjutnya menaikkan Nur Rahmatullah di boncengan sepeda bersama kakaknya, Aulia Nikita Putri (11).
Melajulah sepeda di jalanan kampung. Di tengah perjalanan ada kejadian yang menjadi awal dari petaka ini. Ketika sepeda melintas diatas polisi tidur yang membuat sepeda agak terguncang, membuat tubuh anakku yang duduk di boncengan kehilangan keseimbangan. Kemudian kaki kiri Nur Rahmatullah masuk jeruji sepeda hingga tungkainya luka dan berdarah.
Nur menangis keras karena ada kulit kakinya yang robek. Malam itu juga ia kami bawa ke Ribawati, bidan desa tempat kami tinggal, di Kelurahan Mayangan. Oleh bidan, luka itu dijahit sebanyak tiga jahitan agar segera pulih. Saya pikir, sudah tak ada masalah. Namun, lima hari kemudian rupanya luka di kaki Nur berubah jadi infeksi. Sebab, tubuh Nur tiba-tiba panas dan tak lama kemudian dibarengi kejang-kejang.
Tindakan Salah
Sebagai seorang perawat yang saat ini berdinas si salah satu rumah sakit swasta, saya tahu persis Nur telah terkena infeksi akibat luka di kakinya itu. Tanpa membuang waktu, malam itu Nur segera kubawa ke UGD RS Dr. Mohammad Saleh, Probolinggo. Setiba di UGD, oleh petugas disuntik pantatnya dengan dua jenis obat, masing-masing antibiotika dan penicillin proxain (PDC). Obat yang terakhir ini berfungsi sebagai penyembuh tetanus.
Selang beberapa saat, panas tubuh Nur mulai turun, demikian pula kejangnya sudah mulai jarang. Malam itu juga Nur langsung dipindah ke ruang isolasi. Perkembangan Nur membaik, bahkan pada pukul 02.00 dinihari, Nur sudah mulai bisa berkomunikasi denganku. Malah, saat itu ia sudah bisa bermanja-manja minta selimut dan dikeloni.
Memang, penanggulangan tetanus saat ini relatif mudah, berbeda sekali dengan zaman dulu sebelum pengobatan kedokteran sudah semaju sekarang ini. Keesokan harinya, sekitar pukul 08.30, kondisi Nur makin segar. Kendati demikian, masih harus tetap berada di RS untuk tetap mendapat perawatan khusus. Saat itu datang lah Dian, seorang perawat. Ia membawa obat PDC serta jarum suntik.
Yang membuatku heran, PDC itu tidak disuntikkan ke pantat Nur, melainkan dimasukkan ke tubuh dengan cara disuntikkan ke selang infus yang menempel di tangan kiri Nur. Aku terkejut, karena aku tahu persis bahwa obat PDC di manapun juga harus disuntikkan di bagian pantat atau bagian tubuh yang memiliki otot tebal, sesuai dengan yang tertulis di botol obat yaitu Only IM (intra muscular) dan tidak boleh dimasukkan melalui IV atau intra vena karena dampaknya akan fatal.
Aku langusng teriak ke arah perawat itu, "Lho, PDC, kok, dimasukkan infus sih! itu tidak benar!" Tetapi Dian, malah ngotot, "Benar, memang harus dimasukkan ke sini," jawabnya. Setelah aku bantah, Dian mulai terlihat ragu, meski sebagian obat sudah masuk. Ia kemudian bergegas pergi untuk menanyakan ke dokter yang menugasinya. Seketika itu juga aku langsung lemas. Setelah perawat pergi, aku langsung matikan saluran infus, agar cairan PDC tidak mengalir lebih banyak ke dalam tubuh anakku.
Namun, saat itu aku juga sudah lemas. Sebab sebenarnya, aku sadar betul, tindakan suster itu bakal fatal akibatnya. Sebagai seorang perawat, aku tahu dampaknya. Ketika PDC masuk melalui infus dan langsung menuju ke dalam darah, seketika itu juga darah akan mengental, hati dan jantung akan rusak. Dalam hati, aku hanya berucap, "Ya Allah, berikan kekuatan anakku untuk melawan obat ini."
Benar saja, dugaanku tidak meleset sedikitpun. Hanya berselang 2-3 menit kemudian, tubuh Nur bukan hanya kejang-kejang, tapi tubuhnya sampai melintir-melintir. Saking parahnya, bahkan anakku sampai membanting-banting tubuhnya sendiri di tempat tidur. Di saat kejadian itu, datanglah Dian, sang perawat yang kemudian meminta maaf atas kesalahan yang diperbuatnya.
Sungguh, aku tak bisa melukiskan gejolak perasaanku saat itu. Aku hanya bisa tertegun, sampai air mata ini terus meleleh melihat tubuh Nur yang sudah tak bisa berhenti bergerak-gerak dengan hebatnya. "Ya Allah, betapa sakitnya yang dialami anakku ini," teriakku dalam hati.
Sebagai seorang yang pernah diajari ilmu kesehatan, aku tahu persis anakku ini tengah mengalami kesakitan yang amat sangat hebat. Akibat ginjal, liver, maupun organ penting lain di dalam tubuhnya mengalami kerusakan fatal secara mendadak.
Jika memang harus dilakukan tindakan, mestinya pencucian darah, lambung, juga paru. Anehnya, saat itu sama sekali tidak ada tindakan apa-apa dari para medis yang bertugas. Saya hanya bisa menangis, minta ada tindakan khusus, tapi semua orang hanya terdiam seolah bingung harus berbuat apa. Itulah yang membuat saya sampai saat ini kecewa berat terhadap pelayanan RS.
Di tengah kepanikan itu aku sudah minta berkali-kali agar anakku dibawa ke ICU dan dilakukan pengawasan 24 jam penuh. Tapi lagi-lagi dokter jaga yang ada di dekatku seolah bingung tak mengerti harus berbuat apa. Di sisi lain aku juga sepenuhnya sadar, sebenarnya ajal Nur tak akan lama lagi. Sebab kondisinya sudah sangat kritis. Dan yang tak aku bisa lupakan, Nur sudah tak bisa bernapas lewat hidung lagi, melainkan hanya melalui mulut. Suara napas Nur yang mendesis itu sampai saat ini pun tak bisa aku lupakan.
Baru sekitar pukul 15.00 Nur sempat diinfus lagi, tapi infus itu untuk mengobati infeksinya, jadi menuruktu tindakan itu tidak nyambung sama sekali. Di saat aku tak tega melihat tubuh Nur yang meregang-regang terus kesakitan, aku langsung menuju masjid RS untuk mengaji, demi menguatkan hati.
Setelah aku desak terus, barulah pada pukul 18.00 Nur dimasukkan ke ruang ICU. Waktu itu dr. Endah, spesialis anak juga datang. Kendati demikian, ia pun sepertinya tidak bisa berbuat banyak karena keadaan Nur sudah kritis. Jujur, saat itu aku sudah tak tega lagi menunggui Nur. Aku hanya bisa menangis di luar pintu, sementara yang mendampingi Nur adalah suamiku.
Sebagai ibu, aku tentu berharap bisa menunggui buah hatiku. Maka, tetap kulihat dari jauh alat pendeteksi pernapasan Nur. Malam itu, hatiku rasanya diiris sembilu, sebab makin malam alat pendeteksi pernapasan yang ada di monitor tercatat 90 ke bawah dan terus menerus menurun. Padahal, jika sudah di level 90 ke bawah, itu pertanda harapan untuk hidup sangat rendah.
Rupanya, suamiku pun mulai tak tahan melihat Nur, sehingga ia ke luar ruangan, mendampingi aku yang juga sudah tak mampu apa-apa lagi, kecuali menangis dan berdoa. Saat itu, dr. Endah juga sudah tahu, waktu Nur tak akan lama lagi, sehingga mengajak suamiku untuk masuk ke ruang rawat Nur.
Benar saja, beberapa menit kemudian, aku mendengar suara tiiiiiiit... yang panjang dari mesin pemantau detak jantung dan pernapasan. itu artinya, semua organ tubuh anakku sudah berhenti. Tangisku pun seketika pecah.
Gandhi Wasono M./ bersambung
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR