Sudah sejak kecil saya suka musik. Namanya anak-anak, awalnya saya meniru. Nah, ketika kelas 5 SD, kakak saya Agus yang usianya setahun lebih tua les piano seminggu dua kali di rumah. Melihat Mas Agus main piano, kok, sepertinya asyik banget.
Usai les, saya dekati Mas Agus. "Mas, bagaimana, sih, cara mainnya?" tanya saya. Mas Agus lalu mengajari saya cara bermain piano. Tentu saja ada keterbatasan. Saya punya kekurangan fisik. Dengan satu tangan, saya tak bisa main piano dengan sempurna. "Yuk, main berdua," ajak Mas Agus. Kami pun main bersama. Mas Agus main rhytm-nya, sedangkan saya di melodi.
Hari-hari selanjutnya, saya mencoba main sendiri. Saya mainkan lagu-lagu yang standar. Terbatas pada chord-chord sederhana. Katanya, orang yang suka main musik, telinganya akan terlatih dengan notasi. Saya pun makin suka musik. Lama-kelamaan saya lebih gemar menyanyi. Dari sana, bakat menyanyi saya mulai tumbuh.
Bikin Band
Awalnya, orangtua saya, pasangan Amir Tanjung dan Suhartati, menyekolahkan saya di YPAC bagian D, tuna daksa. Namun, ketika saya kelas 5 SD, orangtua memindahkan saya ke sekolah umum. Ibu mencari sekolah yang mau menerima saya. Dengan masuk sekolah umum, Ibu berharap saya bisa berkembang, baik secara fisik maupun mental. Saya akhirnya diterima di SD Tarakanita. Lulus SD, saya masuk SMP Tarakanita.
Ketika masuk sekolah umum, saya sempat merasa berbeda dengan teman-teman lain yang fisiknya normal. Saya sempat bertanya-tanya, saya yang harus adaptasi dengan mereka atau mereka yang adaptasi dengan saya. Sebelumnya, sih, biasa-biasa saja karena di SLB bagian D, kondisi teman-teman juga cacat fisik.
Ternyata, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lingkungan sekolah saya tidak membeda-bedakan. Teman-teman juga tidak menganggap saya aneh. Mereka memperlakukan saya seperti teman-teman lainnya. Begitu pula dengan para guru. Mereka tidak mendiskriminasikan saya. Hanya di pelajaran olahraga saja saya berbeda. Bila teman-teman latihan basket, saya hanya senam ringan. Didikan guru membuat saya tumbuh seperti murid-murid lainnya. Saya juga satu sekolah dengan Mas Agus.
Orangtua juga keras mendidik saya. Mereka tidak membedakan saya dan saudara-saudara. Saya harus melakukan pekerjaan yang juga dilakukan kakak dan dua adik saya. Dengan cara mendidik seperti itu, mereka memberi saya ruang berkembang seluas-luasnya.
Saya juga leluasa mengembangkan bakat saya di bidang musik. Sewaktu di SMP, saya suka sekali dengan grup The Beatles. Saya mengoleksi kaset-kaset The Beatles. Tak sekadar mendengarkan, saya juga menyanyikannya. Saya hafal semua lagu-lagu The Beatles.
Bersama teman-teman SMP, saat duduk di kelas 2, saya mendirikan grup band. Anggotanya lima orang, termasuk Mas Agus. Kelompok band kami membawakan lagu-lagu The Beatles. Saya jadi vokalisnya. Kami tampil dalam acara internal sekolah. Masa itu, kan, ada class meeting, lomba antarkelas. Acara penutupannya ada pentas seni. Nah, kami tampil dalam acara gelar seni itu.
Kesukaan pada musik terus berlanjut ketika saya sekolah di SMA Kolese Gonzaga. Tapi, selera musik saya agak bergeser. Saya mulai menyukai musik rock. Salah satu favorit saya adalah Whitesnake. Suatu saat, ada teman yang bikin grup band dan mencari vokalis. Saya diajak bergabung. Kami sempat ikut lomba band antarsekolah. Band kami memenangi bassis terbaik, tapi vokalisnya enggak menang, ha ha ha... Kami sering pula tampil dalam berbagai acara.
Band masih jalan, saya menemukan keasyikan lain bersama teman-teman. Seusai pelajaran sekolah, saya dan teman-teman tidak langsung pulang. Kami menongkrong di kantin sambil nyanyi-nyanyi. Seorang teman mengiringi pakai gitar, yang lain termasuk saya, menyanyikan macam-macam lagu. Begitulah kegiatan kami sehari-hari. Orangtua enggak marah meski saya sering pulang telat. Mereka tahu, saya nyanyi-nyanyi di sekolah.
Suatu saat, di tahun 1991, kepala sekolah dan OSIS yang tahu kebiasaan kami, menawari untuk tampil mewakili sekolah dalam acara musik antarSMA. Apa lagunya? "Lagu yang biasa dinyanyikan di kantin," kata kepala sekolah. Wah, kesempatan yang luar biasa. Kami tampil dalam format vokal group (VG). Kami tampil sembilan orang dengan iringan satu gitar. Nama kelompoknya VG Gonzaga. Kami menyanyikan lagu-lagu top masa itu, seperti lagunya Everly Brothers.
Penampilan kami cukup memuaskan. Sejak itu, kami selalu tampil dalam setiap acara sekolah. Kami juga selalu mengikuti perkembangan musik baru, salah satunya lewat radio. Kala itu kelompok vokal asal Amerika, Boys Two Men sedang ngetop. Lagunya kerap diputar di radio. Mereka membawakan lagu antara lain It's So Hard to Say Goodbye to Yesterday secara acapella.
Saya dan teman-teman menyukainya dan mencoba membawakan lagu itu, juga secara acapella. Hasilnya, boleh juga. Bisa dipertanggungjawabkan lah, he he he... Lewat sejumlah proses, akhirnya gitar kami tinggalkan. Mulailah kami menjadi kelompok acapella. Kami sepakat memakai nama Jamaica Café di tahun 1992. Jamaica mengacu pada negara yang tenar dengan lagu-lagu reggae, sedangkan kafe merupakan sebutan modern dari kantin, tempat kami biasa kumpul.
Kami terus beracapella sampai saya kuliah di IKJ jurusan seni lukis. Kami sering pentas di berbagai acara sekolah, sampai tahun 1997 mulai rutin tampil di kafe. Awalnya ada teman yang memberi informasi. Ada satu kafe yang butuh kelompok acapella. Lewat proses audisi yang diikuti beberapa kelompok, kami terpilih. Kami dikontrak untuk tampil seminggu dua kali. Sambutan penonton sangat bagus.
Kini, Jamaica Café terdiri dari enam personel, tiga di antaranya adalah teman-teman SMA. Lewat proses latihan, kami berbagi vokal. Saya, Michael, dan Jimmy kebagian vokal bariton, Hekko perkusi, Iko tenor, dan Bayu di bas. Makin lama kami makin kompak. Kami tampil di berbagai acara, mulai dari acara hajatan pernikahan sampai acara resmi sejumlah instansi. Dalam sebulan, kami mendapat order 4-6 kali.
Bersama Jamaica Café, saya pentas di berbagai kota di Indonesia. Hanya Indonesia bagian timur yang belum. Bahkan, beberapa kali Jamaica pentas di Singapura. Tentu ini kebanggaan tersendiri bagi saya. Lebih bahagia lagi, Jamaica terus bertahan sampai sekarang.
Saat saya pentas, terkadang istri saya, Indah, menemani. Tentu saja pada saat dia libur. Indah yang berasal dari Manado bekerja sebagai pramugari. Kami menikah tahun 1998 setelah sekitar lima tahun pacaran. Kami bertemu di kafe, tempat saya biasa manggung.
Ketika kami sama-sama ada waktu luang, terkadang kami jalan-jalan ke mal. Nonton bioskop atau sekadar makan bersama. Saya bahagia dengan kehidupan saya sekarang. Dan, saya juga amat berterima kasih kepada orangtua yang membuat saya mandiri dan memberi saya kesempatan berkembang.
Henry Ismono
KOMENTAR