Jumat (12/8) itu adalah hari terakhir Helmi Siregar (42) melihat putri sulungnya, Nur Aisah Siregar (16), dalam keadaan hidup. Hanya selang beberapa jam, tepatnya Sabtu subuh, Aisah jadi korban kecelakaan mobil yang dikendarai temannya, Muhammad Hadi Wibowo (16) alias Bowo. "Jumat malam itu saya antar Isah ke rumah Astrid karena katanya di situ tempat berkumpul sebelum kegiatan SOTR," cerita Helmi.
Ditunggu beberapa saat, Astrid tak juga muncul dari dalam rumahnya. "Saya bilang ke Isah, enggak usah ikut SOTR saja. Tapi dia tetap ngotot mau ikut," tutur Helmi yang mengaku tak sempat bertanya apakah acara itu didampingi oleh guru atau tidak. Ketika itu Helmi belum menyadari, apakah itu sebetulnya firasat tak enak atau bukan.
Tiba di rumah, lanjutnya, "Saya minta istri menelepon Isah, menanyakan keadaannya. Tapi karena ada telepon dari saudara di Medan, kami jadi lupa telepon Isah." Usai salat Subuh, tetangganya yang kebetulan bekerja sebagai sekuriti di RS JMC mengetuk pintu rumahnya. "Dia yang memberitahu Isah kecelakaan dan sedang kritis di RS."
Sepanjang jalan, Helmi tak berhenti berdoa agar Isah selamat. Tapi begitu tiba di Ruang UGD di RS yang terletak di bilangan Warung Buncit, Jakarta Selatan, Helmi seperti sudah tahu apa yang terjadi. "Saya lihat Isah sedang dipompa oleh suster. Dia tidak berdarah, mungkin luka dalam. Saya nangis, sedih sekali. Saya lihat muka Isah tersenyum. Cantik sekali. Seperti orang tidur. Di situ saya ikhlas bahwa Isah telah tiada. Saya minta suster berhenti dan melepas seluruh alat medis di tubuh anak saya," kisah Helmi sambil menyeka air mata.
Siang itu pula Isah dimakamkan di TPU Kebagusan, tak jauh dari rumahnya. Usai pemakaman, seorang tetangga menghampiri Helmi. "Dia bilang, salut sama Isah. Katanya, anak saya hebat, sebelum kejadian masih sempat pamit melalui Facebook dan Twitter."
Tak mengerti yang dimaksud, Helmi lantas memeriksa BlackBerry milik Isah yang masih berada dalam tas. "Anak saya seperti pamit. Di Twitter dia bilang, 'Isah dan Astrid sehidup semati.' Dia juga bilang, sedang dibawa balapan entah ke mana. Saya datang ke rumah Astrid, menunjukkan teks itu ke orangtuanya. Mereka seperti janjian pergi untuk selamanya. Di Facebook, Isah mengeluh lelah," tutur Helmi sambil terus terisak.
Sang bunda, Syarifah Aini Nasution, tak kalah hancur hatinya ditinggal Isah begitu cepat. "Memang ada yang tak biasa yang dilakukannya selama bulan puasa ini. Tiap berangkat sekolah, Isah berkali-kali pamit cium tangan saya." Sebelum meninggal, lanjutnya, Isah juga sempat minta laptop dan motor agar ayahnya tak lelah mengantarnya ke sekolah tiap hari. "Tapi ayahnya bilang, baru akan dibelikan kalau umur Isah sudah 17 tahun. Isah juga hobi nyanyi. Dia bilang, Lebaran ini mau mentas sama teman-temannya di TMII, jadi mau beli tiket untuk Ayah dan Emak supaya bisa nonton," paparnya sedih.
Isah yang cantik, kata Helmi, adalah juga anak yang pintar, penurut, dan pengertian. "Makanya dia jadi panutan ketiga adiknya. Dari TK sampai SMU Isah bisa masuk sekolah negeri. Dia kebanggaan kami. Makanya saya sayang sekali sama dia." Tamat SMP, kisah pemilik toko sembako ini, Isah ingin masuk pesantren. Tapi karena nilainya bagus, Helmi memintanya masuk ke SMU negeri favorit. Helmi pun menghadiahkan Isah BlackBerry agar tak minder dengan teman-teman sekolahnya yang kebanyakan dari golongan berada. "Tiga kali dia minta pindah sekolah. Katanya, pelajarannya berat dan temannya kebanyakan orang kaya. Saya kuatkan terus supaya dia tidak pindah."
Sejak SMP, tutur Helmi, Isah aktif dalam kegiatan OSIS. "Dia juga ikut banyak ekskul. Meski badannya kecil, tapi lincah. Kalau ditanya soal cita-citanya, jawabnya belum tahu mau jadi apa. Ternyata baru kelas 2 SMU, dia sudah dipanggil Yang Maha Kuasa."
Kesedihan Helmi dan Syarifah juga dirasakan orangtua Astrid Dwi Oktaviani (16), teman sekelas Isah yang juga menjadi korban kecelakaan tunggal di subuh itu. Putri bungsu pasangan Dewi Kostraningsih (45) dan Oktarudi Tasno (48) ini dikenal sebagai pribadi yang periang. Begitu terpukulnya pasangan itu, hingga hari ketiga kepergian Astrid, mereka belum mau bicara banyak.
Cerita tentang Astrid akhirnya diperoleh dari sang kakak, Aditya Yudistira Oktaputra (23). "Astrid itu selalu menyenangkan. Kami sangat dekat, sering mengobrol, dan bercengkrama, walau usia kami berbeda cukup jauh, 8 tahun."
Sebelum kejadian nahas itu, Adit mengaku tak merasakan firasat apa-apa. "Mama dan Papa juga tak punya firasat. Astrid tetap ceria, lucu, dan manja seperti biasa," ungkap si sulung yang bekerja di kantor pelayanan pajak ini. Adit lantas mengenang kegembiraan Astrid sebelum pergi SOTR bersama teman-teman sekolahnya.
Sebenarnya Adit sudah sempat mengingatkan adanya sebuah edaran yang menyebut SOTR tidak diperbolehkan lagi. "Enggak, Mas, boleh, kok. Sudah dapat izin. Kan, sudah bayar iuran. Nanti diiringi petugas kepolisian, kok. Aman," ucap Adit menirukan sang adik.
Adit masih ingat, rumahnya dijadikan tempat berkumpul oleh teman-teman Astrid sebelum SOTR karena letaknya tak jauh dari sekolah. Ketika akan berangkat jam 22.00, "Saya sempat tanya, kok, cepat-cepat berangkatnya. Kata Astrid, mereka mau berkumpul dulu di sekolah."
Hingga sahur menjelang, keluarga Adit masih tak merasakan pertanda apa pun. "Kami salat Subuh di masjid dekat rumah. Karena mengantuk, saya pulang duluan dan tidur. Kira-kira pukul 06.00, Mama menelepon sambil menangis, mengabarkan Astrid kecelakaan dan berada di RS JMC," ujar Adit yang kemudian buru-buru menuju RS yang dimaksud.
Rupanya Astrid mengalami benturan keras di belakang kepalanya. "Sempat di CT Scan, namun keadaannya makin kritis. Sekitar pukul 07.00 ia berpulang ke Rahmatullah," kata Adit sambil menahan sedih.
Bagaimana dengan pengemudi mobil Toyota Yaris berwana perak itu? Setelah kecelakaan, Bowo yang hanya mengalami luka ringan, sempat datang ke kediaman Isah dan Astrid diantar sang Ibu. "Secara muslim, dia saya maafkan. Tapi secara hukum, tidak tahu-menahu," kata Helmi.
Keluarga Bowo, lanjutnya, juga sempat bertanya ke Helmi, apakah ia akan melaporkan peristiwa itu ke polisi. "Mereka memang berada, beda dengan saya. Tapi saya tidak ada kepikiran untuk itu (lapor polisi, Red.) dalam suasana berduka begini. Mereka sudah datang, minta maaf, ya, sudah."
Kata maaf juga diberikan keluarga Astrid. "Mama dan Papa sudah memaafkan. Toh, dia (Bowo, Red.) juga tidak bisa mengembalikan Astrid lagi. Tapi jujur, saya pribadi ingin Bowo menjalani proses hukum yang ada. Bukan berarti saya dendam, tapi agar dia juga belajar dari kesalahannya dan menjadi lebih baik," tukas Adit.
Hingga saat ini, polisi sudah menetapkan Bowo sebagai tersangka dalam kecelakaan maut yang menewaskan Isah dan Astrid. Namun, Bowo tidak ditahan karena orangtua siswa SMUN 28 itu mengajukan penangguhan penahanan. Karena masih di bawah umur, untuk sementara Bowo yang dijerat pasal tentang kelalaian yang menyebabkan korban jiwa, hanya dikenakan wajib lapor ke Unit Kecelakaan Lalu Lintas Polres Jakarta Selatan, tiga kali seminggu.
Ade Ryani, Swita A. Hapsari
KOMENTAR