Mulai saat pemakaman sampai tujuh hari meninggalnya Mas Toro, saya dan kedua anak kami, Rafael Afeef (11) dan Andeana Afeef (10), tinggal di rumah mertua di Jembatan Lima, Rawalumbu, Bekasi. Baru Rabu (8/6) kami pulang ke rumah
Adakah firasat buruk? Saya enggak tahu. Namun, belakangan saya menyadari, hari-hari sebelumnya ada hal yang mungkin aneh. Suatu malam, saya bermimpi dia dikepung penjahat. Dari kejauhan saya berteriak, "Pa, ambil senjata dan tembak penjahat itu!" Tak lama kemudian, saya terbangun. Ya Allah, rupanya saya mimpi buruk. Namun, saya tak sampai hati menceritakan mimpi itu kepadanya.
Belakangan temannya cerita, Mas Toro ingin pindah rumah ke Bekasi. Katanya, biar lebih dekat ke kantor. Memang benar. Sekarang dia benar-benar tinggal di Bekasi untuk selama-lamanya.
Saya juga jadi ingat kejadian di hari Minggu, beberapa hari sebelum hari nahas itu. Itu terakhir kali saya dan suami jalan-jalan bareng. Sepanjang jalan di mobil, dia berujar, "Kamu harus menghapal jalan. Jadi, kalau saya enggak ada, kamu bisa lancar jalan sendiri."
Saya tak menganggap aneh ucapannya karena selama ini dia memang beberapa kali tugas ke luar kota. Saya tak tahu detail tugasnya. Yang saya tahu, Mas Toro tugas di tim buser Polres Bekasi, unit Curanmor. Artinya, tugas khususnya menangani penjahat-penjahat kendaraan bermotor. Hanya sebatas itu yang saya paham.
Saya tahu kiprah suami justru dari teman-temannya ketika bertemu dalam sebuah acara. "Pak Sugiyantoro baru saja menangkap penjahat," begitu kata mereka. Dalam hati saya membatin, tugas suami ternyata berat juga. Biasanya, sih, ceritanya hanya sampai di situ. Suami hanya tersenyum, tidak membahas lebih lanjut.
Selama ini dia tak pernah membebani pikiran saya soal tugasnya di lapangan. Dia lebih suka bercerita yang ringan-ringan saja. Misalnya saja, beberapa waktu lalu, dia tugas ke Pandeglang sampai beberapa hari. Saat telepon, dia cerita soal panorama yang indah di situ atau cerita kehabisan baju. "Wah, saya harus beli baju di pasar."
Pada saat kami bersama, dia lebih banyak cerita yang menyenangkan. Kami bisa leluasa mengobrol hanya saat libur. Pada hari-hari biasa, waktu pertemuan kami begitu sempit. Saya, kan, kerja di Kalbe Farma di Cikarang. Saya berangkat pagi, pulang sore, sedangkan suami berangkat kerja siang dan pulang dinihari. Namun, komunikasi jalan terus.
Karena tak pernah tahu detail pekerjaannya, sampai sekarang rasanya saya enggak percaya, suami meninggal dalam tugas. Rasanya, kok, enggak siap. Sebagai istri polisi, kecemasan jelas ada. Apalagi, belakangan ini tersiar kabar di media, polisi sering terancam bahaya. Saya pernah dengar, markas polisi diserbu penjahat. Ada pula anggota polisi yang tewas ditembak di Poso.
Saya sempat bercanda pada suami, "Lebih baik pindah tugas saja di bagian administrasi. Berangkat pagi dan sore sudah di rumah." Tapi mana ada tugas polisi seperti itu? Ternyata apa yang saya takutkan benar-benar terjadi pada suami.
Tak Ada Dendam
Tentu banyak kenangan yang indah selama bersama suami. Saya kenal dia tahun 1996. Kebetulan rumah saya dekat dengan Polsek Sukatani dan kala itu dia tugas di sana dengan pangkat Serda. Kalau enggak salah ingat, dia bertugas di Bagian Bimas. Kami saling kenal dan jatuh hati lalu menikah dua tahun kemudian. Karena tempat tugas kami dekat Cikarang, dari hasil menabung, kami membeli rumah di Cikarang Baru.
Keluarga kecil kami semakin lengkap dengan kehadiran sepasang anak, Rafael dan Dea. Saat libur, Mas Toro sering mengajak kami ke daerah pegunungan yang hawanya dingin. Dia enggak suka pantai. Di kala senggang lainnya, dia suka sekali main gitar sambil bernyanyi lagu-lagu pop. Sudah sejak kami pacaran, dia suka nyanyi. Saya, sih, hanya mendengarkan saja. Makanya, ketika beberapa waktu lalu heboh Briptu Norman yang suka lagu India, saya enggak heran. Almarhum juga suka nyanyi seperti Briptu Norman.
Kini, tak ada lagi denting gitar dan suara Mas Toro menyanyi. Saya akan konsentrasi menjaga dan membesarkan anak-anak setelah kepergiannya. Rasanya memang berat tapi mudah-mudahan bisa. Soal dendam pada penembak suami, rasanya tak ada di hati saya. Buat apa dendam? Toh, tidak akan mengembalikan suami saya. Saya memang merasakan betapa sakitnya ditinggal suami dengan cara seperti ini. Itu sebabnya saya percaya, pasti ada balasan kelak. Saya hanya bisa pasrah.
Henry Ismono
KOMENTAR