Kreasi daur ulang yang dilakukan oleh ibu-ibu warga RW 05, Lempuyangan Tengah, Kecamatan Danurejan, Yogyakarta, juga patut diapresiasi. Ibu-ibu yang berjumlah 15 orang itu tergabung dalam Kelompok Guyub Rukun. Rata-rata dari mereka memiliki keterampilan menjahit dan peduli akan kebersihan lingkungan.
Yang mereka lakukan kemudian adalah membuat aneka barang dari limbah rumah tangga, khususnya bekas pembungkus makanan, minuman dan sabun cuci. Mereka membuatnya menjadi aneka barang suvenir seperti gantungan kunci hingga tas laptop, baju dan topi. Per bulan, rata-rata pemasukannya bisa mencapai Rp3 juta hingga Rp 5 juta.
Berbeda dengan produk olahan limbah yang hanya disambung-sambung lalu dijadikan produk baru, ibu-ibu perajin ini menggunakan metode berbeda. Plastik bekas dipotong tipis dengan gunting hingga menyerupai mi, lalu dimasukkan ke dalam pola yang beraneka ragam. Selanjutnya, kain yang sudah terisi guntingan 'mi limbah' ini dijahit rapi. Beberapa produk bahkan dikombinasi dengan kain batik atau kain polos, karena itu harganya jadi relatif mahal.
Latihan Sehari
Untuk bisa membuat aneka kreasi itu, kelompok ini hanya memerlukan latihan beberapa jam saja. "Pelatihnya Mbak Novi dari Balai Lingkungan Hidup. Kebetulan ibu-ibu di sini tingkat kreativitasnya sudah tinggi, jadi diajari sedikit saja sudah tahu," jelas Ari Pusparini (27), anggota Kelompok Guyub Rukun.
Seusai pelatihan, ibu-ibu langsung bisa menghasilkan produk. Oleh Novi, produk bikinan ibu-ibu itu dibawa ke pameran. Ternyata, sambutan masyarakat amat positif. Pesanan sedikit demi sedikit datang. "Karena terus ada pesanan, saya menyarankan ibu-ibu untuk membentuk kelompok. Nah, sekarang ibu-ibu yang konsentrasi berkreasi, lalu saya yang memasarkan. Selain ada usaha kelompok, masing-masing anggota juga ada yang memiliki usaha sendiri."
Bila ada pesanan untuk kelompok, lanjut Ari, hasilnya dinikmati bersama. "Untungnya juga dibagi bersama. Tapi, ibu-ibu juga boleh berkarya secara pribadi dan membuat merek sendiri. Bila salah satu terima pesanan tidak bisa mengerjakan sendiri, order bisa dibagi keanggota kelompok sesuai kemampuannya. Kalau yang terima order kelompok, sementara bahan bakunya cuma punya sedikit, kami menawar ke pemesan, tanggal pengambilannya bisa diundur atau tidak. Soalnya bahan bakunya, kan, harus dicari," terang Ari. Ari sendiri membuat merek Dzakka Collection untuk produk-produk tas bikinannya.
Setelah terbentuk kelompok, aturan pun diberlakukan. "Siapa yang bisa membuat produk baru, desainnya dibeli kelompok. Harganya antara Rp 20 ribu sampai Rp 50 ribu. Tergantung desainnya. Nah, bila desain baru itu dipamerkan lalu ada pesanan, maka si desainer mendapat royalti sekitar 7-10 persen dari total pesanan. Dengan cara itu, ibu-ibu akan lebih kreatif mencipta desain baru. Habis, kalau ada barang baru keluar, pasti akan banyak tiruannya."
Berhubung bahan bakunya terbatas, Ari mengaku kelompoknya juga mau membeli limbahnya, "Kami bisa membeli yang lembaran maupun potongan. Syaratnya harus sudah dicuci bersih. Yang lembaran per kilonya bisa laku Rp 2 ribu. Yang sudah bentuk rajangan tipis, per kilonya Rp 6-10 ribu. Tapi potongannya harus rapi dan sudah dipisah berdasar warna, ya. Saya sendiri membuat tas berdasarkan warna, sebab saya kombinasi dengan batik. Kalau warna limbahnya campuran, motif batiknya tak bisa menonjol," terang mantan guru SD ini.
Dengan memanfaatkan limbah, kini ibu-ibu semakin giat mengedukasi masyarakat di sekitarnya bahwa sampah plastik bisa bernilai. "Memang lingkungan jadi agak bersih, tapi belum sepenuhnya kampung kami bebas dari limbah plastik. Belum semua bergerak. Masih harus terus dikampanyekan dan disadarkan, limbah rumah tangga mereka itu ada harganya."
Nove, Rini / bersambung
KOMENTAR