Tanggal 13 Januari 2010 adalah hari yang tak akan pernah bisa kulupakan. Di hari itulah aku terakhir bertemu Jason, putra bungsuku. Seandainya saja aku tak kembali ke Indonesia dan tetap berada di Singapura, mungkin saja semua ini tak terjadi. Tapi di akhir tahun 2009 itu, aku mau tak mau memang harus kembali ke Bandung karena tuntutan pekerjaan.
Hari itu, seperti biasa aku menjemput Jason dari tempat lesnya sekitar pukul 16.00. Sampai di situ aku terkejut karena Jason sudah tidak ada. Menurut sekuriti, Jason sudah dijemput oleh tiga orang lelaki secara paksa. Bahkan, dua orang di antaranya sudah berhasil diamankan oleh mereka. Saat kulihat siapa gerangan orang yang mau menculik anakku, aku pun terkesima. Salah satunya adalah Tony In Chung, adik kandung mantan istriku, Fransisca Jo (36). Hatiku langsung mencelos. Kali ini Fransisca berhasil merebut Jason dari pelukanku.
Ya, ini bukan yang pertama kali Fransisca berusaha menculik Jason. Sebelumnya, dia sudah pernah berusaha menjemput Jason di sekolahnya, Qiaonan Primary School, waktu kami masih tinggal di Singapura. Tanggal 2 Agustus 2007 itu, Fransisca datang ke sekolah Jason, mengambil foto dan video Jason. Empat hari setelah itu, dia datang lagi membawa koper, hendak menjemput Jason. Lagi-lagi tanpa izin.
Fransisca juga kerap datang dengan orang-orang tak dikenal untuk menculik Jason, tapi selalu gagal. Sudah empat kali kulaporkan perbuatannya ke polisi dan pihak sekolah. Aku bahkan pergi ke Departemen Pendidikan demi memastikan Jason bisa belajar dengan tenang di Singapura.
Jason adalah putra kedua hasil perkawinanku dengan Fransisca. Kami resmi bercerai tahun 2005. Hasil keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara perihal hak pengasuhan anak Jason berada dalam pengasuhanku, sedangkan Davin (17) memilih ikut bersama ibunya.
Kalau dilihat secara kasat mata, Jason adalah anak lelaki yang sempurna. Namun, sesungguhnya, ia berkebutuhan khusus. Anakku didiagnosa memiliki masalah pada otak kirinya yang mengakibatkan disleksia parah. Penyakit ini membuat Jason memiliki keterbatasan dalam hal baca-tulis. Ia juga tak bisa menyimpan memori terlalu lama. Daya tahan tubuhnya juga kurang baik sehingga berbagai perlakuan khusus harus diterapkan kepadanya. Setiap 6 bulan sekali, Jason harus menjalani terapi khusus. Untungnya Jason adalah anak periang. Pembawaannya yang selalu gembira senantiasa menguatkanku ketika aku merasa sedih mengingat kekurangannya.
Setiap hari, aku dan Jason menjalani rutinitas bersama. Aku selalu bangun jam 05.00, lalu memasak untuknya. Setelah selesai menyiapkan segala keperluan sekolahnya, aku memandikannya, lalu kami sarapan bersama. Aku juga yang mengantarkan ke sekolah, baru berangkat ke kantor. Siang hari, kujemput Jason dari sekolah dan mengantarnya ke tempat les. Saat sore tiba, kujemput Jason dari tempat les dan kami bersama-sama pulang ke rumah.
Sebenarnya ada pembantu dan sopir yang bisa mengerjakan semua itu, namun aku memilih melakukannya sendiri demi Jason. Semua akan kulakukan untuk Jason. Kini, Jason tak ada di sisiku. Betapa sepi hidupku.
Sudah sekitar setahun lebih Jason menghilang. Selama itu pula, tak henti-hentinya aku melakukan upaya untuk bertemu dengannya. Berbagai pertanyaan berkecamuk di benakku setiap hari. Apakah Jason mendapat perlakuan yang seharusnya, mengingat keadaannya yang "spesial"? Bagaimana dengan terapinya? Lalu sekolahnya? Sempat aku mendengar, Jason kini menjalani home schooling. Tapi, sudah tepatkah cara mendidiknya? Beberapa kali Fransisca meminta uang untuk membeli obat bagi Jason. Apa benar uang itu untuk Jason? Aku tak pernah tahu.
KOMENTAR