Sefa Firdaus Berawal Dari Hobi Masak
Tinggal di luar negeri tak menjadi halangan bagi Sefa Firdaus (39) untuk ikut berkiprah di dunia fotografi Indonesia. Ibu satu anak ini merupakan salah satu pendiri dan adminstrator grup foto Still Life Food Photography (SLFP), komunitas food photography yang hampir 90 persen anggotanya perempuan Indonesia di seluruh dunia. Uniknya, kecintaan Sefa pada dunia fotografi bermula dari hobinya memasak.
"Karena tinggal di luar negeri, saya harus bisa memasak sendiri. Sejak tinggal di Bremen, Jerman tahun 2002, saya mulai suka memasak," ujar ibu satu anak ini. Sejak itulah, ia mulai rajin menulis blog, sambil mengunggah foto hasil masakannya yang ia abadikan dengan kamera saku.
"Iri" pada hasil foto teman-temannya di Bremen yang bagus-bagus, ditambah kesukaannya traveling selama di Eropa, yang membuatnya jadi memiliki hobi memotret landscape, akhir 2007 Sefa nekat membeli kamera DLSR. Ia berniat lebih serius belajar memotret. Tahun berikutnya, ia mulai menekuni food photography. "Apalagi, saya lihat foto masakan milik orang-orang banyak yang bagus-bagus," kilah Sefa.
Ketekunan Sefa belajar memotret membuahkan hasil manis. Ia mulai diminta teman-temannya di Bremen untuk memotret anak-anak mereka dan dikumpulkan dalam bentuk semacam album bertema lifestyle photo. Jadilah ia dikenal sebagai fotografer lepas. Makin lama, makin banyak permintaan datang, antara lain memotret pre-wedding. Sementara itu, kesukaannya memotret masakan dan mengunggahnya ke blog pribadi terus berjalan.
Food photography yang ia tekuni inilah yang akhirnya membawanya meraih penghargaan dari dua lomba bulanan bertaraf internasional di dunia maya, yaitu Does My Blog Look Good In This (DMBLGIT) dan Click. Yang membuat Sefa bangga, meski hadiahnya hanya berupa logo yang ditempel di blog pemenang, para jurinya bukan orang sembarangan. Mereka adalah para food blogger dan food photographer.
Juri Lomba Foto
Tak hanya sekali, Sefa memenangi DMBLGIT sebanyak enam kali. Karena itulah, ia pernah diminta menjadi host dan juri lomba bertaraf internasional itu. "Yang juga bikin bangga, awal saya ikut lomba DMBLGIT beberapa tahun silam, baru sekitar 3-4 orang asal Indonesia yang jadi pesertanya," kenang Sefa. Penilaian fotonya sendiri didasarkan pada pencahayaan, style, komposisi, dan visualisasi agar makanan yang difoto terlihat menggiurkan.
Lomba di Click, menurut perempuan berjilbab ini, sama bergengsinya. Ia juga pernah memenangi dan menjadi juri Click. "Rasanya senang banget bisa menang karena waktu itu saya masih anak bawang," tuturnya. Kemenangannya di dua lomba itu membuatnya ditawari untuk mendirikan komunitas SLFP yang berbasis di Indonesia, akhir 2008. Tawaran itu ia terima dengan alasan ingin saling berbagi ilmu dengan sesama pecinta food photography.
Maka, ia jadi pendiri sekaligus staf admin di komunitas dunia maya itu. "Ilmu saya memang masih sedikit, tapi dengan ikut komunitas seperti ini, saya bisa terus menambah wawasan. Dari kacamata orang awam, kritikan mereka terhadap foto kita bisa membuat kita tahu bahwa kita memang harus banyak belajar," tandas Sefa. Apalagi, dilihatnya antusiasme ibu-ibu di Indonesia terhadap food photography sangat besar.
"Mereka sering bertanya cara memotret, jadi kenapa enggak sekalian saja bikin forum? Biar mereka enggak cuma bertanya, kami memberi tugas memotret, setelah itu didiskusikan bareng," ujarnya. Sefa mengelola forum itu dari Jerman, di sela-sela mengurus anak, suami, dan mengerjakan tesis S2 yang ia ambil di Jurusan Process Engineering & Energy Technology di sebuah universitas di sana.
Sebulan belakangan, Sefa yang tengah pulang ke Jakarta untuk mengurus tesis, mengajar fotografi dasar bagi anggota komunitas Urban Mama. Ada pengalaman buruk yang pernah ia alami. Foto masakannya pernah dicuri sebuah harian nasional di Indonesia untuk melengkapi resep masakan mereka. Akhirnya, Sefa selalu memasang watermark di setiap fotonya. "Saya justru tahunya dari salah satu pembaca blog saya. Tapi, kasus itu diselesaikan dengan baik karena pihak redaksi koran itu punya itikad baik dan minta maaf."
Sudah sejak remaja Mini Pramono (38) hobi memotret. Ketika itu, dengan kamera saku, Mini senang sekali mengabadikan landscape atau gambar-gambar pemandangan seperti sawah, gunung, dan laut. Kesukaannya terus berlanjut sampai ia menikah dengan Pramono.
Mini berusaha menambah ilmu fotografi dengan melihat-lihat situs fotografi, sampai akhirnya menemukan www.ayofoto.com (AF). Di sana, foto-foto karya anggota komunitas banyak dipajang. "Sepanjang tahun 2007-2008, saya hanya melihat-lihat. Belum berani mengirim kan karya," kata Mini.
Namun, Mini juga berusaha mempelajari teknik foto. Apalagi, banyak komentar yang sifatnya membangun setelah sebuah foto diunggah. Sampai akhirnya suatu hari, Mini memberanikan diri mengirimkan karyanya, namun dengan nama Monof. Sengaja ia meminjam nama suaminya. "Soalnya, banyak yang underestimate sama perempuan yang hobi motret," lanjut ibu dua anak yang saat ini tidak lagi memotret menggunakan kamera saku. Ia kini menggunakan kamera SLR.
Mini terhitung produktif mengirimkan karyanya, baik foto pemandangan maupun foto-foto lain. Komentar-komentar yang masuk membuat ia makin memahami teknik fotografi. Hampir tidak ada komentar yang sifatnya menjatuhkan. "Ada yang berkomentar, 'Fotonya asyik. Tapi lebih baik lagi kalau detailnya diperhatikan.' Wah, para senior tidak keberatan membagi ilmu," tuturnya.
Mini pun makin leluasa menekuni hobinya. Ia kerap ikut dalam acara kopi darat dengan teman-teman komunitas. "Setidaknya kami bertemu dua bulan sekali sambil ngopi di kafe. Kami banyak sharing, misalnya tentang olah foto digital."
Terkadang, Mini dan rekan-rekannya juga hunting foto bareng. Misalnya saja, bersama-sama memotret model. Dari sana, kemampuannya memotret kian terasah. Ia pun kian memahami ada beberapa kategori foto. Salah satunya, "Memotret dengan menggunakan lensa yang obyeknya kecil, seperti serangga."
Potret Raja Ampat
Mini pun pernah menggagas acara foto. Beberapa waktu lalu, ia hunting foto di Cibubur. Awalnya, ia memperkirakan hanya mengundang 15 orang. Ternyata, yang hadir sekitar 30-an orang. "Peminatnya banyak, tapi perempuan yang suka foto, jumlah masih belum banyak," ujarnya yang semula minder bergabung dengan kawan-kawannya. "Karena teman-teman begitu baik, sekarang saya makin semangat."
Karyawati Depkominfo ini mengaku kerap ikut berbagai acara. Tahun lalu, ia ikut tim peliputan acara Zoo Polygon Jakarta Challenge 2010, acara sepeda yang melombakan beberapa kategori. Saya ikut liputan selama dua hari," ujar Mini. Bahkan, di acara Jakarta Carnaval 2010, Mini termasuk panitia bidang fotografer. "Saya satu-satunya perempuan."
Demi hobi memotret, Mini juga kerap berburu ke berbagai daerah, misalnya Bangka Belitung dan Ternate. Seperti backpacker, ia menginap di rumah-rumah penduduk. "Pagi-pagi berangkat agar hari itu juga bisa hunting foto. Kadang sampai di daerah, pas hujan deras. Nah, dengan kemampuan memotret, saya masih bisa dapat foto dengan hasil bagus, meski kondisi hujan," kata Mini yang sering hunting ditemani suami.
Mini juga punya pengalaman seru saat bersama teman-temannya menjelajah ke Raja Ampat di tanah Papua yang terkenal dengan pemandangan lautnya yang memukau. Setelah terbang ke Papua, perjalanan harus dilanjutkan melewati lautan lepas dengan speed boat. Dari 11 orang, Mini satu-satunya perempuan. Sampai Raja Ampat, tubuhnya gosong terbakar matahari. Namun, semuanya terobati oleh keindahan alam Raja Ampat yang menurut Mini, "Luar biasa indah. Senang sekali saya bisa mengabadikan alam Raja Ampat," kata Mini.
Hasil hunting-nya ini ternyata berbuah manis. Foto-foto pemandangannya digunakan untuk kalender dan buku agenda di Depkominfo. Tentu saja ia dapat honor lumayan. Selain itu, Mini juga kerap memajang karya di foto stok situs fotografi. Bila ada yang mengunduh fotonya, Mini akan mendapatkan royalti. "Hitung-hitung dapat passive income. Beberapa foto saya di AF, sudah di download orang, lho."
Henry, Hasuna / bersambung
KOMENTAR