Hati perempuan mana yang rela dimadu? Namun dengan segala kekuranganku, aku harus rela. Tahun 2002, aku divonis menderita infeksi di saluran reproduksi, sehingga tak lagi bisa menjalankan tugasku sebagai istri bagi DK, suamiku. Karena aku tak ingin egois, kuterima Rita sebagai maduku. Harapanku, dia bisa membahagiakan DK. Apalagi, kudengar dia adalah perempuan baik-baik meskipun sudah dua kali gagal berumah tangga. Tapi siapa yang menduga, tahun 2008 itu petaka justru dimulai.
Sebelum memutuskan untuk menikahi Rita, DK selalu bercerita kepadaku tentang Rita. Bagaimana pribadinya dan seperti apa permasalahan hidupnya. Mendengar ceritanya, aku sempat berpikir, mungkin Rita memang layak mendapatkan sebagian cinta DK. Aku pun ikhlas dan belajar sabar. Dengan kekuranganku, aku mengira, memberi restu kepada Rita adalah solusi dari permasalahan rumah tangga kami.
Rita pun tahu latar belakang DK dan keluarga kami. Dia tahu bahwa di Bandung DK sudah punya istri dan dua anak. Tak ada yang ditutupi. Ketika DK dan Rita hendak terbang ke Medan untuk melangsungkan pernikahan, aku bahkan mengirim SMS singkat yang isinya mendoakan mereka berdua selamat sampai tujuan dan dilancarkan segala urusannya.
Kalau boleh bercerita tentang suamiku, dia adalah pria yang baik dan penyayang. Kepadaku dan anak-anak, tak pernah sekali pun dia bersikap kasar. Apalagi sampai memukul. Jadi, pernyataan Rita yang menyatakan DK pria yang kasar, sangat tidak benar. Entah salah apa suamiku, niat baiknya kepada Rita malah dibalas dengan tuduhan yang tidak-tidak.
Selang beberapa bulan setelah pernikahan mereka, aku sempat heran karena menemukan luka gigitan pada tubuh suamiku. Dari DK juga aku mendengar cerita dia diusir, barang-barangnya ditaruh begitu saja di teras rumah. Kok, begini? Aku jadi ikut geram.
Kekecewaanku memuncak setelah kejadian pada 19 November. Kala itu, DK pulang lagi-lagi dengan bekas gigitan di tangan dan dada. Aku pun semakin kaget ketika datang surat laporan ke rumah. Rita melaporkan suamiku atas tuduhan KDRT! Lho, bukannya suamiku yang sebenarnya dianiaya? Ini, kok, jadi berbalik melaporkan suamiku ke pihak yang berwajib?
Harusnya Rita sadar, aku sudah cukup banyak mengalah untuknya. Karena sedang mengerjakan proyek di Jakarta, praktis suamiku selalu pulang ke rumah Rita. Hanya dua kali dalam sebulan dia ke Bandung dan berkumpul denganku dan anak-anak. Uang belanja pun lebih banyak dialokasikan ke Jakarta ketimbang Bandung.
Aku sebenarnya tak masalah, mungkin memang sudah rezekinya. Aku tahu ini karena tagihan dan rekening koran dialamatkan ke rumah kami di Bandung. Aku bahkan memiliki seluruh catatan bukti transfer dari DK ke Rita. Ditambah uang tunai yang juga diberikan DK, Rita sebetulnya menerima banyak sekali. Jadi, tak benar jika dia bilang ikut memberi uang untuk kami di Bandung. Tak pernah sedikit pun kucicipi uang Rita!
Sampai sekarang, aku memang tak pernah berhubungan langsung dengan Rita. Yang pasti, dia sering mengirimiku SMS yang isinya melarangku dan anak-anakku untuk berkomunikasi dengan suamiku. Dia juga memintaku untuk tak menggunakan nama belakang suamiku di akun Facebook. Terakhir, dia minta aku diceraikan. Sering SMS Rita menggunakan kata-kata yang menyakitkan, tapi langsung kuhapus karena kupikir tak usah digubris. Belakangan aku menyesal. Setelah kasus suamiku masuk sidang pertama, kan, bisa saja SMS itu kujadikan barang bukti.
Selang beberapa hari setelah melaporkan suamiku ke polisi, aku semakin kecewa karena mendapat note dari akun Facebook Rita yang menceritakan segala kebohongan. Rita menulis, suamiku memukulnya dengan tangan kiri karena dia kidal. Ya ampun, aku kenal betul suamiku. Dia tidak kidal! Jadi, makin terlihat saja kebohongannya.
Belakangan aku makin ternganga setelah DK menceritakan perilaku Rita yang kerap lepas kendali. Saat hamil, misalnya, dia sering berlari ke dapur dan mengambil pisau. Dia histeris dan hendak menusuk perutnya sendiri. Entah kenapa. DK juga memberitahu, kakak pertama dan kedua Rita pernah menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa. Bahkan keduanya kini masih bergantung pada obat penenang. Aku tak mau menuduh apa-apa, tapi kuharap Rita tak berakhir seperti itu.
Kini, tak ada lagi kompromi. Aku sebenarnya tak ingin semua berakhir begini. Apabila ingin berpisah, pisahlah baik-baik, bukan dengan cara menjelek-jelekkan DK di depan umum. Aku yakin sekali, suamiku tak seperti yang dituduhkan Rita. Aku pun berjanji akan mendampingi DK menjalani proses hukum yang sedang berlangsung.
Banyak yang merasa heran mengapa aku masih mau mendampingi suamiku dan bertahan mendukungnya. Aku hanya ingin kehidupan kami kembali tenang seperti dulu. Maka, sebelum semuanya semakin kacau, aku bersikukuh mengajak Rita menempuh mediasi. Semoga Rita segera sadar dan bisa mendapatkan hikmah atas segala kejadian yang sudah terjadi.
Satu yang kuinginkan, semoga nama baik suamiku yang sempat tercoreng karena kejadian ini, dapat dipulihkan seperti sedia kala.
Swita Amalia
KOMENTAR