Maklum, selain takut ketinggian, aku juga tak bisa berenang. Yang ada dalam pikiranku hanya satu kala itu, apakah pelampung ini bisa menyelamatkan kami? Bagaimana dengan gelombang laut dan lain-lainnya? Toh, aku nekat. Dengan tangan kanan menyangga tubuh Rizki, tangan kiriku lalu merogoh kantung celana untuk mengambil telepon genggamku.
Aku ingin menguhubungi keluarga dan memberitahu keadaanku. Aku telepon suamiku dan sempat menyampaikan, aku dan Rizki tengah mencari cara untuk menyelamatkan diri dari kobaran api yang mulai habis membakar kapal yang kami tumpangi. "Doakan kami," kataku sebelum mematikan telepon.
Entah kenapa, usai itu, mendadak keberanianku muncul. Aku berjalan ke pinggir kapal. Usai berdoa dan berharap keselamatan, tanpa pikir panjang lagi aku melompat ke laut gelap. "Byuuuur..." Dinginnya air laut dan hempasan gelombang membuatku semakin erat memeluk Rizki. Aku tak mau terpisah darinya, aku tak mau dia terenggut gelombang laut. Kembali aku berdoa agar kami diberi keselamatan dan bisa bertemu keluarga.
Entah berapa lama aku dan Rizki terapung-apung di laut. Yang jelas, ombak membawa kami semakin menjauh dari kapal. Di sekeliling, aku lihat orang saling berpelukan dan berteriak minta pertolongan. Aku tak dapat melakukan apa-apa selain terus menjaga Rizki dan melihat sekeliling kalau-kalau ada kapal penyelamat datang.
Doaku terjawab. Tak lama kemudian, tiba-tiba datang sebuah kapal mendekat dan mulai menarik kami satu persatu dari laut. Sesampainya di atas kapal penyelamat, aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku jatuh pingsan! Ketika akhirnya siuman, aku menyadari bajuku sudah diganti dan dua orang perawat tengah membalurkan minyak angin ke sekujur tubuhku.
Aku kembali panik karena tak menemukan Rizki. Syukurlah, Rizki ternyata ditempatkan tak jauh dari tempatku terbaring dan dia dalam kondisi sehat. Tak ada luka tertinggal di tubuh kami berdua, hanya ada sedikit lebam di dagu Rizki.
Ya Allah, terima kasih masih melindungi kami berdua...
Edwin Yusman / bersambung
Foto-Foto: Eng Naftali
KOMENTAR