Sekitar dua minggu ini, aku dan putra bungsuku, Rizki, menginap di rumah putri sulungku, Siti Khusnulhotimah (22), di Pondok Ungu, Bekasi. Oleh karena masih harus mengurus keluarga besar di Lampung, Jumat (28/1) dini hari aku memutuskan kembali ke Lampung. Tak ada firasat apa pun ketika sekitar jam 24.00 kami yang menggunakan mobil travel Jakarta-Bandar Lampung tiba di Pelabuhan Penyeberangan Merak untuk menuju ke Pelabuhan Bakauheni, Lampung. Malam itu, semua berjalan seperti biasa.
Memang, musim hujan membuat ombak laut malam itu tampak sedikit menyeramkan. Tapi karena harus pulang dan sudah terbiasa menghadapi ombak seperti ini, aku pikir, tak akan ada masalah. Toh, kalaupun cuaca semakin membahayakan, kapal yang akan membawaku dan anakku ini sudah pasti memutuskan tak akan berlayar.
Waktu sudah sangat larut dan para penumpang semua sudah naik ke atas dek kapal sementara aku memutuskan tetap tinggal di dalam mobil travel yang aku tumpangi, yang parkir di bagian bawah kapal. Lagipula, Rizki juga terlihat lelah dan mengantuk. Beberapa penumpang lain pun memutuskan beristirahat di dalam kendaraan.
Sekitar jam 03.00, aku terbangun dari tidur karena mendengar suara orang berteriak-teriak minta tolong. Bahkan sebagian yang lain berteriak, "Ada api, ada api!" Aku juga melihat orang-orang berlarian menuju tangga ke arah luar ruang parkir mobil. Akhirnya aku pun melihat sumber ketakutan mereka. Ya, api terlihat sudah membesar!
Aku langsung bangkit dan keluar dari mobil sambil tak lupa menggamit tangan Rizki dan menyuruhnya untuk tetap berada di dekatku. Semakin lama, aku merasa api semakin membesar dan udara di sekitar tempatku berdiri semakin panas. Inilah saatnya untuk lari menyelamatkan diri. Aku pun ikut arus bergabung dengan kerumunan orang yang berebut naik ke bagian atas.
Agar tak terpisah dengan Rizki, kugendong dia sambil berlari menuju bagian atas kapal. Cukup susah menembus kerumunan orang yang saling berebutan naik tangga. Untunglah akhirnya aku berhasil membawa Rizki ke atas dan meminta pelampung kepada salah satu kru kapal yang ada di sana.
Di bagian atas kapal, suasana panik semakin kurasakan. Pasalnya, di sini jumlah orang semakin banyak, sementara api dan asap semakin membumbung tinggi. Asap hitam benar-benar sudah memenuhi seluruh ruangan kapal. Keadaan saat itu gelap dan dipenuhi teriakan orang-orang serta tangisan anak kecil.
Karena asap semakin besar, kuputuskan mengikuti rombongan penumpang kapal yang terus merayap ke bagian paling atas kapal. Aku hanya bisa berdoa dan menyuruh Rizki memelukku erat-erat. "Jangan menangis, Nak," kataku. Alhamdulillah, Rizki tegar dan tak menangis sama sekali. Dia malah ikut berdoa bersamaku, memohon lindungan Allah agar menyelamatkan kami dan para penumpang lain.
Di bagian paling atas kapal, tak ada yang bisa kami lakukan selain berdoa dan berdoa. Satu persatu penumpang kulihat mulai nekat melompat ke laut. Semua panik dan mulai menceburkan diri. Meski aku dan Rizki sudah pakai pelampung, tapi aku masih terus berpikir sebelum akhirnya ikut menceburkan diri.
Maklum, selain takut ketinggian, aku juga tak bisa berenang. Yang ada dalam pikiranku hanya satu kala itu, apakah pelampung ini bisa menyelamatkan kami? Bagaimana dengan gelombang laut dan lain-lainnya? Toh, aku nekat. Dengan tangan kanan menyangga tubuh Rizki, tangan kiriku lalu merogoh kantung celana untuk mengambil telepon genggamku.
Aku ingin menguhubungi keluarga dan memberitahu keadaanku. Aku telepon suamiku dan sempat menyampaikan, aku dan Rizki tengah mencari cara untuk menyelamatkan diri dari kobaran api yang mulai habis membakar kapal yang kami tumpangi. "Doakan kami," kataku sebelum mematikan telepon.
Entah kenapa, usai itu, mendadak keberanianku muncul. Aku berjalan ke pinggir kapal. Usai berdoa dan berharap keselamatan, tanpa pikir panjang lagi aku melompat ke laut gelap. "Byuuuur..." Dinginnya air laut dan hempasan gelombang membuatku semakin erat memeluk Rizki. Aku tak mau terpisah darinya, aku tak mau dia terenggut gelombang laut. Kembali aku berdoa agar kami diberi keselamatan dan bisa bertemu keluarga.
Entah berapa lama aku dan Rizki terapung-apung di laut. Yang jelas, ombak membawa kami semakin menjauh dari kapal. Di sekeliling, aku lihat orang saling berpelukan dan berteriak minta pertolongan. Aku tak dapat melakukan apa-apa selain terus menjaga Rizki dan melihat sekeliling kalau-kalau ada kapal penyelamat datang.
Doaku terjawab. Tak lama kemudian, tiba-tiba datang sebuah kapal mendekat dan mulai menarik kami satu persatu dari laut. Sesampainya di atas kapal penyelamat, aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku jatuh pingsan! Ketika akhirnya siuman, aku menyadari bajuku sudah diganti dan dua orang perawat tengah membalurkan minyak angin ke sekujur tubuhku.
Aku kembali panik karena tak menemukan Rizki. Syukurlah, Rizki ternyata ditempatkan tak jauh dari tempatku terbaring dan dia dalam kondisi sehat. Tak ada luka tertinggal di tubuh kami berdua, hanya ada sedikit lebam di dagu Rizki.
Ya Allah, terima kasih masih melindungi kami berdua...
Edwin Yusman / bersambung
Foto-Foto: Eng Naftali
KOMENTAR