Kisah yang aku tuturkan ini bukan bagian cerita serial TV produksi Arab Saudi seperti yang pernah aku bintangi. Ini kisah nyata hidupku yang baru saja aku alami. Seperti perempuan pada umumnya, aku mengidamkan rumah tangga yang bahagia selamanya. Namun, kenyataan bicara lain.
Bahtera rumah tanggaku dengan Mohamad Anis Rosidi (52), dosen di sebuah perguruan tinggi ternama di Bandung, sama sekali berbeda. Ia pun bukan sosok pria impianku. Aku menikah dengannya tahun 2002. Dari pernikahan itu, kami dikaruniai seorang anak perempuan, Rifa.
Sepanjang usia perkawinan kami, bukan kebahagiaan yang kurasakan. Yang justru terjadi adalah keributan demi keributan. Selama itu pula, tak jarang aku mengalami tindak kekerasan. Tetapi aku tak pernah menceritakannya, apalagi mengungkapkan kejadian itu ke orang lain.
Karena kerap berselisih paham, perceraian pun tak terhindarkan lagi. Sebetulnya, kami pun pernah bercerai sebelumnya. Namun demi anak, kami akhirnya menikah lagi. Lagi-lagi, aku tak tahan dengan kekerasan yang dilakukannya hingga akhirnya aku menggugat cerai lagi pada pertengahan 2010.
Ketika itu, mantan suamiku menyusun sebuah kesepakatan yang isinya antara lain rumah beserta isinya jatuh ke tanganku dan cicilannya akan ia bayar hingga lunas. Aku pun mendapat satu unit mobil Toyota Altis, sementara ia mendapat satu mobil lainnya dan hak asuh atas Rifa.
Tak ingin menghadapi proses pengadilan yang panjang dan berbelit-belit, aku menyetujui kesepakatan itu. Terlebih, ada poin-poin yang menjelaskan aku tetap bisa menemui Rifa. Selama ini, memang tak ada aturan baku berapa hari Rifa ikut aku atau ayahnya. Semua berdasarkan keinginan Rifa saja, karena aku tak ingin memperlakukan buah hatiku seperti barang.
Suatu hari, Sabtu (20/11), aku menjemput Rifa untuk menginap di rumahku. Untuk membuatnya senang, Minggu (21/11) aku mengajaknya ke bioskop, menonton film Harry Potter. Pulangnya, Rifa mulai kelihatan kurang enak badan dan batuk-batuk. Badannya juga terasa hangat. Aku beri obat batuk dan penurun panas untuk Rifa.
Karena kondisi Rifa yang kurang sehat, aku memutuskan tidak mengantarnya ke sekolah esok harinya. Apalagi aku tahu, hari Rabunya Rifa bersama teman sekolahnya akan melakukan perjalanan wisata ke Jakarta, mengunjungi pusat permainan anak. Maksudku, ia bisa beristirahat dulu dua hari di rumah dan setelah sembuh bisa ikut wisata ke Jakarta.
Di luar dugaan, tanpa pemberitahuan terlebih dulu, Selasa (23/11) malam mantan suamiku datang ke rumah. Ia membuka pagar rumahku secara kasar. Saat itu aku sedang berada di dalam kamar, sementara Rifa dan Rano, anakku dari pernikahan sebelumnya, berada di ruang tamu sedang menonton teve.
Asisten rumah tanggaku langsung panik, "Bu, ada Bapak!" serunya. Spontan aku menyuruh anak-anak segera bersembunyi dalam lemari di dalam kamar. Tiba-tiba, kudengar mantan suami menghantam pintu kamar sebanyak tiga kali hingga bolong, setelah itu membuka paksa kuncinya. Aku hanya bisa berteriak minta tolong. Anak-anak pun mulai menangis dan berteriak ketakutan dari dalam lemari. Aku halangi lemari dengan tubuhku dengan maksud melindungi anak-anak.
Tapi tanpa kusangka, mantan suami malah memukul dan menendangku. Tak cuma itu. Aku pun diinjaknya. Saat aku sudah mulai terkulai lemas, mantan suami membuka lemari dan mengambil Rifa dengan paksa.
Aku tak ingin menyerahkan Rifa begitu saja, karena itu aku berontak, lalu terjadi perebutan anak. Namun, karena tenagaku sudah tak kuat lagi, akhirnya mantan suami "memenangkan" perebutan Rifa. Ia membawa dan menyerahkan Rifa ke sopir yang mengantarnya. Aku sempat berusaha mengejar tapi tak berhasil.
Aku sempat melihat, buah hatiku dimasukkan ke dalam mobil secara kasar dan dibawa pergi. Tetangga yang datang dan melihat peristiwa itu menyarankanku agar secepatnya melapor ke polisi. Ditemani tetangga, aku melaporkan semua kejadian itu ke Polsek Antapani. Setelah dibuat berita acaranya (BAP), aku disarankan segera ke rumah sakit untuk divisum. Setelah tekanan darahku diukur, dokter di RS Santo Yusuf memintaku beristirahat di rumah sakit 1-2 hari karena tekanan darahku mencapai 200/110.
Sebelum kejadian itu, soal hak asuh atas Rifa selama ini tak pernah ada masalah. Sikapku memang mulai berubah setelah mengetahui rencana ayahnya Rifa yang akan menikah lagi dengan perempuan, sebut saja bernama Khad, yang sudah memiliki empat orang anak dari dua perkawinan sebelumnya.
Sabtu silam itu, saat Rifa kujemput, ia menangis dan bercerita, ia pernah dipukul dan dijambak oleh salah satu anak laki-laki dari perempuan bernama Khad itu. Bahkan, karena ingin membela anaknya, Khad juga sempat membentak Rifa.
Sebagai ibu kandung Rifa, tentu aku merasa khawatir. Bagaimana jadinya andai kelak mantan suami menikah lagi dan Rifa tinggal satu atap dengan mereka? Akibat kekhawatiranku itulah mantan suami malah menuduh aku cemburu buta. Kini, aku siap menghadapi proses pengadilan.
Sita Dewi / bersambung
KOMENTAR