Pasangan Surani-Yuli Suciasih dan buah hati mereka, Ihsan Raka Raditya (7,5 bulan), adalah tiga dari puluhan ribu warga yang berhasil luput dari sergapan awan panas, Jumat (5/11) dini hari lalu. Mereka meloloskan diri dengan mengendarai sepeda motor dari barak pengungsian Wukirsari, Cangkringan (sekitar 15 km dari Merapi) ke Stadion Maguwoharjo.
Sebetulnya, baru dua hari pasangan muda ini mengungsi dari rumahnya di Dusun Kopeng, Kepuharjo, yang berjarak 7 Km dari Merapi. Di tengah malam yang terasa amat mencekam, kisah pasangan ini, gemuruh Merapi jelas terdengar dari lokasi yang sebelumnya diperkirakan aman itu. Hujan kerikil pun mulai turun. Para pengungsi tentu saja panik dan segera menyelamatkan diri. Sambil berlari, Surani-Yuli langsung membawa Raka menggunakan motor. Hanya pakaian Raka saja yang sempat dibawa. Mereka diinstruksikan menuju Stadion Maguwoharjo yang berjarak sekitar 15 Km dari Wukirsari.
Perjalanan dengan motor itu terasa lambat karena bunyi gemuruh yang terdengar di belakang mereka tak kunjung reda. Jalanan pun dipadati para pengungsi lain. Belum lagi hujan debu yang terus turun. "Mata saya perih sampai mengeluarkan air mata, tapi saya berusaha tetap lihat ke depan," ujar Surani, sang penambang pasir di lereng Merapi. "Untungnya, malam itu Raka tidur pulas. Dia saya selimuti saja," kata Yuli.
Di pengungsian yang baru, Yuli dan Raka yang semula berbaur dengan pengungsi lain, dipindahkan ke ruangan khusus ber-AC. Di situ ada puluhan bayi dan ibu menyusui lain. Sekitar jam 08.00, Surani-Yuli baru bisa mengisi perut dengan sebungkus nasi dan telur yang baru dibagikan. Sementara Raka makan bubur yang dibeli Surani di luar stadion. Surani pun perlu merayu Raka agar mau makan. Selain dapat nasi bungkus, mereka juga dapat jatah popok-sekali-pakai, biskuit, baju bayi, dan bubur kacang hijau.
Saat tiba waktunya mandi, Raka terpaksa hanya dibasuh handuk basah. "Kasihan Raka, tidak ada air hangat buat mandi. Padahal, di barak sebelumnya kami masih bisa masak air di dapur umum. Sekarang enggak bisa lagi," tutur Yuli sedih. Selain itu, "Alas tidur juga belum ada. Soalnya, tadi Raka enggak kebagian. Sudah kehabisan. Mungkin besok ada lagi," harap Yuli. Malam harinya, Raka mendapat jatah alas tidur plastik. Tak lama, Yuli dan Raka memutuskan untuk tidur bersama keluarga besarnya, meninggalkan ruangan khusus bayi dan ibu menyusui yang relatif lebih nyaman.
Surani-Yuli jugamengaku sudah hampir kehabisan uang. Mereka pun tak tahu akan ke mana kelak. Agar tak stres, Surani bertekad tak akan banyak melamun. "Harus tetap bersyukur," ujarnya dengan bijak.
Berbagi Untuk Pengungsi Gerakan Spontan Nan Mengharumkan
Bencana Merapi ternyata menggugah rasa kepedulian warga yang luar biasa dahsyatnya. Ketika mendengar pengungsi di Merapi dipindahkan ke Stadion Maguwoharjo, Sleman, banyak masyarakat berpikir sama, "Mereka akan sarapan apa, ya?" Sumbangan pun segera mengalir deras.
Rasa kepedulian yang tinggi telah menggugah warga untuk melakukan gerakan memberi nasi bungkus bagi para pengungsi. Rasa itu pula yang muncul di benak Kiki Vindian dan sejumlah ibu di RT 03/15, Kopenrejo, Maguwoharjo, Depok, Sleman. "Waktu itu langsung terpikir, setelah sampai di pengungsian yang baru, mereka akan sarapan apa, ya?," ujar istri Fajar Novemriano Putro alias Tommy, Ketua RT 03/15.
Rupanya beberapa ibu di RT 03 juga punya pemikiran sama. Maka sebagai istri ketua RT, Kiki langsung mengkoordinasi para ibu untuk membuat nasi bungkus. Bahan baku pun dikumpulkan dengan cara "saweran" dari ibu-ibu tadi. Ada yang menyumbang beras, bumbu, lauk, dan lainnya. "Pokoknya, swadana ibu-ibu di RT sini, deh."
Setelah bahan terkumpul, kemudian dimasak di rumah Mbah Ngadimin, tetua di RT itu. "Ada sekitar 10 ibu yang ikut masak," kata Kiki yang hari itu memasak untuk 200 bungkus nasi.
Awalnya, nasi bungkus itu akan diserahkan ke pengungsi di Stadion Maguwoharjo. Tapi niat itu tak terlaksana lantaran ada permintaan dari salah satu warga RT 01 yang rumahnya dijadikan tempat mengungsi saudara-saudaranya dari Pakem sebanyak 50 orang. "Dia minta nasi bungkus untuk pengungsi di rumahnya."
Kiki dan ibu-ibu RT 03 tak keberatan. Toh, kalau yang dekat rumah perlu disumbang, kenapa harus menyumbang yang jauh-jauh. "Apalagi setelah di cek, ternyata di rumah itu hanya tersedia 1 dus mi instan. Ya, sudah, nanti sisanya untuk pengungsi lain."
Sekitar pukul 08.00, akhirnya 50 bungkus nasi jatah pengungsi di RT 01 pun siap santap. Masalah baru kemudian timbul. "Saat akan diantarkan, ternyata jumlah pengungsi di situ terus bertambah," kata Kiki. Alhasil, 200 nasi bungkus itu dikonsumsi para pengungsi yang terus berdatangan ke situ.
Hingga Jumat (5/11) petang, kata Kiki, mereka masih menumpang di RT 01. "Saya kemudian koordinasi dengan pengurus RT lain untuk bergiliran memberi jatah makan sampai mereka kembali ke rumah masing-masing. Ya, enggak tahu sampai kapan."
Kendati capek dan repot, Kiki sangat senang jika apa yang dilakukannya bisa meringankan para pengungsi. "Ini gerakan spontan ibu-ibu yang begitu prihatin atas kejadian ini," tambah Kiki.
Ahmad Tarmizi, Sukrisna / bersambung
KOMENTAR