"Sekolah tak bertanggungjawab," tulis Devi Rizki (15) di akun FB-nya. Siswa kelas 2 ini merasa sekolahnya tak aman karena helmnya raib di parkiran. Hal sama dirasakan empat temannya. Selain helm hilang, "Jok motor milik Dinda robek bekas siletan. Sepatu Ella, Anisa, dan Fanny saat dilepas ketika ada kegiatan sekolah, robek bekas siletan," kisah Devi.
Mereka lalu mengadu ke guru bidang kesiswaan, Hakam. "Tapi tidak pernah dapat tanggapan yang memuaskan. Jawabannya selalu, 'Tidak tahu'," kata anak sulung dari lima bersaudara ini.
Kesal, ia pun menulis uneg-unegnyaa di FB. Yang lain pun ikut mengomentari. Mega, misalnya, menulis, "Gila semua, yang salah biar cepat mati. Laporkan ke Dinas saja, masukkan ke Radar Bromo (nama koran lokal, Red.) biar Pak Wali tahu." Sementara Rinaldi berkomentar, "Apa aja rek, aku nyesel sekolah di sini," selanjutnya disusul dengan komentar serupa tiga teman lainnya, Rusdiana, Anisa dan Roby.
Kejutan Tak Enak
Belakangan, pihak sekolah tahu soal komentar-komentar di situs jejaring sosial itu dan menganggapnya sebagai penghinaan serta pelanggaran etika. Suatu Senin, saat upacara di sekolah, Kepala Sekolah SMAN 2, Safiudin, menyindir Devi. "Sekolah adalah tempat belajar, bukan tempat penitipan barang," kata Safiudin. Devi dan teman-temannya langsung curiga, pidato sang kepala sekolah berkaitan dengan komentar di FB.
Kejutan lain datang ketika usai upacara, Devi dan kawan-kawan dipanggil ke ruang guru. Putri H. Sunadi (46) ini dimintai nomor telepon sang ayah. "Saya dikontak, diminta datang," kata Sunadi. Di sekolah, Sunadi diperlihatkan FB, termasuk komentar anaknya. "Katanya, anak-anak bisa dijerat dengan UU Informasi Teknologi dan Elektronika (ITE) yang hukumannya 6 tahun penjara dan denda Rp 1 milyar," kata Sunadi mengulangi ucapan Safiudin. Ujung-ujungnya, lanjut Sunadi, kepala sekolah berujar, "Karena perbuatan Devi, sekarang anak Bapak kami kembalikan lagi ke orangtua."
Sunadi langsung kaget sekaligus mempertanyakan keputusan keras itu. Apalagi, selama dua tahun sekolah di situ, Devi belum pernah berbuat kesalahan maupun dapat teguran dari sekolah. Yang lebih mengejutkan, "Kalau saya enggak terima dengan keputusan itu, akan dipidanakan sesuai UU ITE. Devi bahkan sempat diminta menulis di akun FB- nya agar minta maaf ke seluruh guru di Indonesia, terutama guru yang ada di Probolinggo. Kalau tidak, katanya bisa dituntut Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)."
Keputusan yang sama juga diberikan sekolah ke Diana, Anisa, dan Rudy. "Sungguh saya enggak nyangka bakal dapat sanksi sebegitu berat. Tujuan saya saat itu semata-mata protes ke pihak sekolah. Habis, protes melalui guru tak pernah ditanggapi," kata Devi yang ditemui di rumahnya Kamis (12/8).
Rasa syok juga dialami Arif Sulivan, paman Mega Ayu (16). "Tidak ada hujan, tidak ada angin, tiba-tiba keponakan saya dikeluarakan dari sekolah," kata Arif yang sudah mengasuh Mega sejak tujuh tahun silam setelah orangtua Mega berpisah. Bedanya, saat Mega "dikembalikan" kepadanya, Kepala Dinas Pendidikan Probolinggo, Maksum Subani, ikut hadir.
Kepala sekolah, kisah Arif, juga berujar, "Keputusan sekolah jangan sampai diketahui media atau saya akan dituntut sesuai UU ITE dan Mega harus siap dihukum penjara serta denda Rp 1 milyar." Yang dianggapnya ganjil, kepala sekolah "mengajari"nya berbohong dengan menyarankan Mega pindah ke sekolah dekat rumahnya. "Nanti bilang saja, terpaksa pindah karena di SMAN 2 sering telat gara-gara rumahnya jauh," ujar Arif menirukan ucapan Saifudin, si kepala sekolah.
Jelas, saran itu tak digubris Arif. Bersama orangtua yang anaknya juga dipecat dari SMAN 2, mereka mengadu ke Kepala Dinas Pendidikan, Maksum Subani, juga dengar pendapat di DPRD Probolinggo. Setelah mendapat tekanan dari DPRD, Maksum berjanji mencarikan sekolah lain.
"Cuma kasih komentar di FB, kok, dikeluarkan dari sekolah. Mestinya orangtuanya saja dipanggil, atau anaknya diberi sanksi. Lagipula, seharusnya siswa yang menjadi perusuh sekolah itu yang harus ditemukan dan diberi sanksi," kata Arif kesal. "Keponakan saya langsung stres dan mengurung diri di kamar setelah dipecat," lanjutnya.
Meski sekarang sudah dipastikan dapat sekolah baru, Arif dan Sunadi tetap tak terima dengan perbuatan kepala sekolah sekaligus Ka Diknas yang mendukung keputusan kepala sekolah yang dinilai kebablasan itu. "Siswa SMA yang membunuh dan membuang bayinya minggu lalu di Surabaya saja tidak dikeluarakan dari sekolahnya. Kenapa berkomentar di FB dipecat dari sekolahnya?" ucap Arif jengkel.
"Tindakan kepala sekolah bukan memecat. Beda sekali. Kalau dipecat, kan, di-drop out, dikeluarakan dengan catatan buruk. Tapi ini tidak ada catatan, jadi cuma dikembalikan ke orangtua," bantah Maksum saat ditemui terpisah.
Ia justru menilai tindakan kepala sekolah sudah tepat. "Kenakalan anak-anak itu sudah berlebihan. Masak mengatai-ngatai sekolahnya dengan perkataan kotor dibiarkan saja? Sudah selayaknya dikembalikan ke orangtuanya," tutur Maksum sambil menambahkan, moral dan etika anak sekolah adalah segala-segalanya, oleh karena itu pernyataan keenam siswa di FB sudah sangat keterlaluan.
Gandhi M Wasono/ bersambung
KOMENTAR