Seorang guru piano asal Jakarta, Ade Pujiati (44), tergerak hatinya untuk menyediakan pendidikan gratis bagi anak-anak kurang mampu. Di rumah milik orangtuanya yang asri di Jl. Pancoran Timur VIII No. 4B, Komplek Perdatam, Jakarta Selatan, Ade menyulap teras rumah dan ruang makan menjadi 'sekolah'.
Meskipun hanya didirikan dengan fasilitas dan modal seadanya, Ade berhasil mengelola Sekolah Menengah Pertama (SMP) gratis melalui dana mandiri, yang ia namai SMP Ibu Pertiwi, berbasis Tempat Kegiatan Belajar Mandiri (TKBM).
Ya, gratis! Muridnya sama sekali tak dipungut biaya. Mulai dari buku teks, peralatan sekolah, sampai seragam dan sepatu. Tenaga pengajarnya pun para sukarelawan yang tak digaji. Sejak awal sekolah ini dikerjakan secara swadaya, tanpa bantuan swasta dan pemerintah.
Alasannya, "Soalnya saya sendiri yang ingin bikin sekolah ini. Jadi, tidak pernah minta bantuan dari manapun. Kalau pun ada donasi, karena mereka yang datang dan menawarkan bantuan. Tidak berbentuk uang, tapi barang keperluan sekolah. Kami menyediakan daftar kebutuhan ke para donatur. Baru dua tahun belakangan ini kami berhasil mendapat dana BOS dan BOP," ungkap Ade.
Sistem pendidikan yang diberikan di TKBM milik Ade tak berbeda dengan SMP pada umumnya. "Bedanya, selain gratis, murid kami berasal dari keluarga tak mampu. Seperti anak pemulung, anak tukang parkir dan masyarakat miskin lainnya. Di DKI Jakarta ada 8 TKBM yang semuanya menginduk ke SMP Negeri. Seperti SMPN 67, SMPN 30, SMPN 95, SMPN 28, SMPN 84 dan SMPN 190. Sehinga nanti, lulusan TKBM akan mendapat ijazah yang sama dengan siswa SMP induknya," ucap Ade yang sekolahnya menginduk ke SMPN 67.
Perjalanan sekolah ini, jelas Ade, nyaris tanpa hambatan berarti. "Semuanya sudah jelas diatur dalam surat Direktur Jenderal (Dirjen) Kementrian Departemen Pendidikan Nasional. Isi surat itu menyebutkan, masyarakat boleh mendirikan sekolah gratis. Status sekolahnya pun negeri, asal menginduk ke Sekolah Negeri yang mempunyai program Sekolah Terbuka."
Alasan Ade mendirikan sekolah gratis ini sebenarnya berawal dari ketidakpuasannya terhadap pola pendidikan yang ada. "Bilangnya gratis, tapi tetap saja ada berbagai pungutan yang mewajibkan murid membayar sejumlah uang ke sekolah. Bagaimana nasib anak-anak dari keluarga tak mampu?" tukasnya.
Selain itu, apa yang dilakukan Ade sebenarnya juga merupakan bentuk protesnya terhadap kinerja pemerintah. "Mengapa sampai sekarang tak ada sekolah negeri yang benar-benar gratis? Coba lihat sekolah negeri di negara-negara lain, baik Sekolah Percontohan, Sekolah Standar Nasional (SSN) atau Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) semuanya gratis."
Dengan munculnya sekolah gratis seperti ini, lanjut Ade, artinya pemerintah telah gagal memajukan pendidikan. "Saya akan membuat TKBM milik saya bertaraf SBI dengan gedung megah. Tapi tetap gratis," ujar Ade bersemangat.
Ucapan Ade bukan sekadar isapan jempol. Meski saat ini fasilitas ruang belajar masih minim, namun tak begitu dengan fasilitas lainnya, "Kami mendapat bantuan dari beberapa perusahaan besar sehingga bisa menyediakan peralatan sekolah terbaik, memberikan jaminan kesehatan kepada murid, bahkan kami juga punya psikolog."
Ade mengatakan, seharusnya semua sekolah mampu melakukan apa yang dilakukannya. "Apalagi dengan dana BOS dan BOP. Saya yang punya murid sebanyak 37 siswa saja bisa mendapatkan dana Rp 16 juta per 3 bulan. Sayangnya, dari 8 TKBM yang ada. Hanya sekolah saya yang mendapat dana itu."
Suka Bolos
Kendati demikian, kendala sekolah gratis juga muncul pada murid-muridnya. Meski semua diberikan gratis, tetap saja ada alasan bagi murid untuk bolos. Selain harus membantu keluarga mencari uang, kadang mereka memang malas.
Untuk itu, Ade menerapkan aturan ketat untuk seluruh muridnya. "Kalau bolos, mereka akan didenda Rp 5.000 per hari. Kalau enggak bisa bayar langsung, bisa dicicil. Tak hanya murid, guru juga punya aturan disiplin seperti halnya sekolah pada umumnya."
Ade dan guru tak hanya berurusan dengan murid semata. "Mereka boleh miskin tapi enggak sengsara. Contoh saja, ada orangtua yang tak mampu menyekolahkan anak, tapi bisa beli rokok atau telepon genggam. Sehingga selain memberikan pendidikan akademis, juga membina mental dan membangun karakter mereka," tutur Ade.
Pelan tapi pasti, Ade berhasil mengubah gaya hidup murid dan keluarganya. "Kami juga memberikan berbagai pelatihan keterampilan untuk para murid, seperti membuat telur asin dan berbagai kerajinan. Alhamdulillah, sudah banyak berhasil. Dulu pemulung atau pembantu, sekarang sudah enggak. Malah sekarang kami kewalahan terima order," tukas Ketua Forum TKBM DKI Jakarta ini bangga.
Edwin Yusman F./ bersambung
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR