Satu kejadian mutilasi lain adalah yang menimpa Kristin Indrajaya. Perempuan berusia 22 tahun ini dihabisi Nata Irwandi alias Ipung, yang ternyata adalah paman korban. Di depan hakim, Ipung mengaku cemburu dan sakit hati lantaran Kristin menikah dengan lelaki lain. Padahal, sejak lama paman dan keponakan ini sering berhubungan layaknya suami-istri.
Dari catatan kriminalitas yang berkaitan dengan mutilasi, kata para pengamat, pelaku pada umumnya melakukan hal itu karena merasa sakit hati dan dendam yang mendalam. Begitu besarnya rasa sakit hati mereka, dilampiaskan dengan cara memutilasi korban. Perasaan puas pun didapat setelah memotong-motong tubuh korban.
Yang memprihatinkan, para pelaku umumnya mengaku melakukan hal itu karena terinspirasi oleh tayangan teve atau berita di media cetak. Setelah menghabisi korban, pelaku merasa panik, bagaimana harus menyingkirkan mayat. Dalam keadaan kalut, mereka mengaku, teringat pada berita atau tayangan di teve. Adegan rekonstruksi yang ditayangkan secara mendetail, membuat mereka jadi tahu, bagaimana harus "melenyapkan" korban.
Dari berita dan tayangan teve juga, pelaku belajar, memutilasi korban bisa untuk menghilangkan jejak agar perbuatannya tidak diketahui. Mayat korban pun akan lebih sulit diketahui jika ditemukan secara tidak utuh.
Teori peniruan dari apa yang dilihat, didengar, dan dibaca, memang lazim dikenal dalam ilmu Sosial. Adalah satu hal lumrah jika seseorang meniru. Yang jadi masalah, yang ditirunya adalah hal yang tidak benar.
Mengingat begitu besarnya pengaruh media massa sebagai inspirator atau media pembelajaran bagi pelaku tindakan kejahatan, imbauan pun diserukan agar media massa tak hanya mementingkan sensasi, rating tinggi, oplah besar, melainkan harus mengutamakan etika dan memikirkan apa dampak buruk yang bisa terjadi.
Bersambung
KOMENTAR