Tak ada yang menyangka, ibu guru berusia 45 tahun itu harus kehilangan nyawa di tangan suaminya, seorang kepala sekolah. Kematiannya pun amat menyedihkan. Setelah kepalanya dihantam batang kayu, jasadnya kemudian dipotong-potong menjadi tujuh bagian.
Kasus bu guru yang bernama Diah itu, terjadi tahun 1989. Saat itu, kasus mutilasi masih jarang terjadi. Tak heran jika peristiwa itu menyedot perhatian begitu besar. Polisi pun harus bekerja keras mengungkap misteri mayat terpotong-potong yang dibuang di depan kampus IKIP Rawamangun (kini UNJ, Red.). Wajah Diah sudah tak utuh akibat disayat-sayat. Hidungnya "ditebas", dan jemari tangannya dibuang.
Saat itu, polisi hanya bisa menyatakan, korban adalah wanita sekitar 45 tahun, rambut berombak, berkulit kuning. Rupanya pelaku mulitasi tahu persis, bagaimana harus mengaburkan bahkan menghilangkan identitas korban agar kejahatannya sulit dilacak.
Belakangan diketahui, pembunuh Diah adalah suaminya sendiri, Agus Naser Atmadiwirja. Alasannya, Agus mengaku kesal dan sakit hati karena sering dimarahi Diah. Di sisi lain, Agus "panik" karena Diah mulai mengendus ia punya istri muda. Dan di hari nahas itu, mereka bertengkar hebat yang berakhir dengan peristiwa tragis itu.
Usai memotong-motong tubuh Diah, memasukkannya ke kantung plastik, dan membuangnya, Agus kemudian menghilang dari rumahnya, Jalan Percetakan Negara, Jakarta. Belakangan, polisi mencokoknya di rumah istri mudanya.
Di persidangan, Agus mengaku mendapat ide mutilasi dari berita tentang mayat terpotong 13 yang ditemukan di Jalan Sudirman, Jakarta, yang hingga kini tetap jadi misteri. "Saya tiba-tiba teringat dengan berita yang saya baca itu. Saya yakin kalau mayat ini dipotong-potong, polisi akan susah melacaknya," begitu Agus berujar pada hakim yang akhirnya memvonisnya hukuman seumur hidup.
Sakit hati dan sakit fisik karena kerap dipukuli suami, juga menjadi alasan Sri Rumiyati (48) membunuh Hendra, suaminya, lalu memotong-motong jenazah Hendra dan membuang sebagian potongan tubuh di dalam bus.
Mulanya polisi menduga, pelakunya preman. Ahli forensik menengarai, pelakunya cukup profesional jika dilihat dari rapihnya potongan-potongan mayat itu. Dua hari menjelang Idul Fitri, akhir Oktober tahun lalu, Yati akhirnya berhasil dibekuk di Brebes, Jawa Tengah.
Yati segera mengakui perbuatannya, sekaligus membeberkan, ia mendapat ide melakukan mutilasi dari berita-berita tentang Ryan, pria asal Jombang yang menghilangkan nyawa 11 orang dan memutilasi beberapa korbannya. "Setelah Hendra saya bunuh, saya langsung terbayang-bayang dan ingin mengikuti adegan yang pernah saya lihat di teve itu," tutur Yati yang mengaku "rajin" mengikuti kasus Ryan.
Satu kejadian mutilasi lain adalah yang menimpa Kristin Indrajaya. Perempuan berusia 22 tahun ini dihabisi Nata Irwandi alias Ipung, yang ternyata adalah paman korban. Di depan hakim, Ipung mengaku cemburu dan sakit hati lantaran Kristin menikah dengan lelaki lain. Padahal, sejak lama paman dan keponakan ini sering berhubungan layaknya suami-istri.
Dari catatan kriminalitas yang berkaitan dengan mutilasi, kata para pengamat, pelaku pada umumnya melakukan hal itu karena merasa sakit hati dan dendam yang mendalam. Begitu besarnya rasa sakit hati mereka, dilampiaskan dengan cara memutilasi korban. Perasaan puas pun didapat setelah memotong-motong tubuh korban.
Yang memprihatinkan, para pelaku umumnya mengaku melakukan hal itu karena terinspirasi oleh tayangan teve atau berita di media cetak. Setelah menghabisi korban, pelaku merasa panik, bagaimana harus menyingkirkan mayat. Dalam keadaan kalut, mereka mengaku, teringat pada berita atau tayangan di teve. Adegan rekonstruksi yang ditayangkan secara mendetail, membuat mereka jadi tahu, bagaimana harus "melenyapkan" korban.
Dari berita dan tayangan teve juga, pelaku belajar, memutilasi korban bisa untuk menghilangkan jejak agar perbuatannya tidak diketahui. Mayat korban pun akan lebih sulit diketahui jika ditemukan secara tidak utuh.
Teori peniruan dari apa yang dilihat, didengar, dan dibaca, memang lazim dikenal dalam ilmu Sosial. Adalah satu hal lumrah jika seseorang meniru. Yang jadi masalah, yang ditirunya adalah hal yang tidak benar.
Mengingat begitu besarnya pengaruh media massa sebagai inspirator atau media pembelajaran bagi pelaku tindakan kejahatan, imbauan pun diserukan agar media massa tak hanya mementingkan sensasi, rating tinggi, oplah besar, melainkan harus mengutamakan etika dan memikirkan apa dampak buruk yang bisa terjadi.
Bersambung
KOMENTAR