Padahal, lanjut Sugeng, untuk mencari pengrajin catur tidak mudah. Sebab, sekalipun bisa menjadi tukang kayu, belum tentu bisa membuat buah catur. Untuk membuat papan catur dibutuhkan tak hanya kemampuan membentuk kayu saja, tapi juga harus pandai bubut kayu. "Saat itulah para pengrajin yang ada disini mulai kelimpungan, karena pengrajin sama-sama kekurangan pekerja. Padahal, saat itu pesanan dari konsumen yang ada di berbagai daerah tetap tinggi dan tak pernah surut," imbuh Sugeng.
Selain itu, muncul lagi persoalan baru yakni tumbuhnya produsen papan dan buah catur berbahan plastik buatan pabrikan. Hal ini semakin mengikis jumlah produsen papan catur di tempatnya. "Jadi, penderitaan pengrajin yang ada di sini semakin lengkap," paparnya.
Ikatan Emosional
Kendati persoalan demi persoalan muncul, ini sama sekali tak menyurutkan niat Sugeng untuk terus memproduksi papan catur. Ia merasa tak mudah melepaskan diri sebagai pengrajin catur, karena ia merasa ada ikatan emsoional tersendiri. "Saya bisa menjadi seperti sekarang ini, berkat jerih payah saya membuat buah catur. Makanya, saya tidak mudah begitu saja melepaskan pekerjaan ini," dalih Sugeng yang saat ini memiliki 15 orang karyawan.
Kini, dari tiga dusun sentra pengrajin catur, tinggal dirinya saja yang masih tetap eksis. Setiap bulan ia tetap menyuplai untuk beberapa toko di Surabaya, juga memenuhi kebutuhan lembaga Percasi cabang Malang. Minimal dalam sebulan ia mengirim ke beberapa tempat pemesan itu totalnya 150 set. "Itupun terkadang masih kewalahan, karena mereka maunya minta tambah terus, " ujar Sugeng yang setiap hari dibantu sang istri, Juwariyah untuk menangani pengecatan.
Sugeng menambahkan, saat ini ada perubahan bentuk papan catur yang dibuatnya. Dulu, papan catur sekaligus berfungsi sebagai kotak penyimpan buah catur, kini tidak lagi. Khusus untuk papan catur, ia menggunakan bahan harboard mirip tripleks, yang bisa dilipat kecil menjadi empat lapis. Sedangkan untuk membungkus buah catur, dibuatkan kotak tas plastik khusus dengan klip sebagai penutup, yang kemudian dimasukkan ke tas khusus dengan tulisan Truno Catur sebagai mereknya.
Keunikan sosok Sugeng, meski dalam keseharian dia jago dalam urusan membuat catur, tapi sampai saat ini ia belum pernah bisa memainkan permainan catur. "Saya bisanya cuma bikin saja. Tapi kalau disuruh main catur, justru tidak bisa," katanya sambil tertawa.
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR