Berkat keuletan dan ketekunannya, usaha pembuatan papan catur miliknya tetap eksis hingga saat ini. Ia mampu bertahan diantara kebangkrutan puluhan pengrajin papan dan buah catur di kawasan Pasuruan yang ada sejak 30 tahun silam.
Di kalangan pengrajin papan catur di kawasan Malang dan Pasuruan, nama Sugeng Prayitno (56) sudah tidak asing lagi. Ia menekuni profesi sebagai pengrajin papan dan buah catur sudah sejak 30 tahun silam. Bahkan, di saat semua pengusaha papan catur bertumbangan alias gulung tikar, ia tetap bertahan hingga saat ini. Sugeng menjelaskan, tempat tinggalnya dulu di Dusun Sentul , Kec. Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur (Jatim), merupakan sentra pengrajin papan dan buah catur di Jatim. Ketika itu, selain Sentul, ada dua dusun lagi masing-masing Dusun Gajahan dan Dusun Ngawen yang mayoritas warganya juga pengrajin papan dan buah catur.
Beranjak dewasa, Sugeng muda memutuskan untuk menggeluti usaha pembuatan catur. Kesungguhan Sugeng tak sia-sia, karena dalam waktu singkat, ia bisa menguasai teknik pembuatan catur sekaligus memproduksinya sendiri. "Waktu itu bentuk dan bahan pembuatan catur masih sederhana dan tidak sebagus sekarang. Bahannya dari kayu waru. Desain kotaknya jugan sengaja berfungsi ganda, yakni sebagai tempat buah catur dan papan caturnya," imbuh Sugeng.
Dalam jangka waktu tiga tahun, usahanya berkembang pesat dan puncaknya terjadi pada tahun 1982. "Di masa itu, papan catur buatan saya laku bak kacang goreng. Dalam setahun, antara tahun 1982 sampai 1983, saya langsung bisa membangun satu rumah yang saya tempati sampai sekarang ini," kata Sugeng mengenang masa keemasannya dulu.
Ada satu kebanggaan yang tak akan terhapus sampai saat ini. Sekitar tahun 1982, ia mendapat pesanan dari panitia kejuaraan dunia catur dunia di Doha, Qatar sebanyak 150 set. Pesanan itu datang melalui Persatuan Catur Indonesia (Percasi) cabang Malang. Papan catur miliknya itu dipakai sebagai papan catur pada turnamen internasional yang salah satu pesertanya adalah Grand Master dunia Anatoly Karpov dari Rusia. "Yang menyimpan foto Karpov saat main dengan buah catur buatan saya adalah salah satu pengurus Percasi Malang. Sayang sekali waktu itu saya cuma sempat melihat foto itu, tapi belum sempat menggandakannya karena pengurusnya itu sudah keburu meninggal dunia," ujar Sugeng.
Bersaing Dengan Catur Plastik
Selain itu, bentuk buah catur sendiri, menurutnya, juga bermacam-macam. Ia dulu pernah menghitung, untuk buah catur kuda saja, ada sekitar 25 bentuk. Misalnya, ada kuda yang kepalanya saja, tapi ada juga yang sampai ada kakinya segala. "Semua jenis itu sudah pernah saya bikin, cuma dalam keseharian, kalau tidak ada pesanan khusus saya bikin yang jenis standar saja," imbuh Sugeng.
Oleh karena itu, lanjut Sugeng, selain pilihan, setiap tukang memiliki spesialisasi sendiri-sendiri. Misalnya, seorang tukang spesialis bikin kuda, maka kesehariannya selalu bikin kuda saja, dia tidak akan diperbolehkan membuat raja, atau buah catur yang lain. Dengan demikian, ukuran satu buah raja selalu presisi atau sama persis. "Tapi kalau satu tukang sekaligus membuat semua buah catur, bisa-bisa tidak laku dijual, karena bentuk dan ukurannya pasti tidak karu-karuan," kata Sugeng yang dari penghasilannya sebagai pengrajin catur sudah bisa membuatkan masing-masing anaknya sebuah rumah.
Namun, melewati masa tahun 90-an, kakek seorang cucu itu mengaku, usaha pembuatan catur di kampungnya mulai seret. Salah satu penyebabnya adalah para pekerja yang beralih profesi sebagai tukang bubut di pabrik-pabrik meubel besar yang mulai tumbuh di daerahnya.
Padahal, lanjut Sugeng, untuk mencari pengrajin catur tidak mudah. Sebab, sekalipun bisa menjadi tukang kayu, belum tentu bisa membuat buah catur. Untuk membuat papan catur dibutuhkan tak hanya kemampuan membentuk kayu saja, tapi juga harus pandai bubut kayu. "Saat itulah para pengrajin yang ada disini mulai kelimpungan, karena pengrajin sama-sama kekurangan pekerja. Padahal, saat itu pesanan dari konsumen yang ada di berbagai daerah tetap tinggi dan tak pernah surut," imbuh Sugeng.
Selain itu, muncul lagi persoalan baru yakni tumbuhnya produsen papan dan buah catur berbahan plastik buatan pabrikan. Hal ini semakin mengikis jumlah produsen papan catur di tempatnya. "Jadi, penderitaan pengrajin yang ada di sini semakin lengkap," paparnya.
Ikatan Emosional
Kendati persoalan demi persoalan muncul, ini sama sekali tak menyurutkan niat Sugeng untuk terus memproduksi papan catur. Ia merasa tak mudah melepaskan diri sebagai pengrajin catur, karena ia merasa ada ikatan emsoional tersendiri. "Saya bisa menjadi seperti sekarang ini, berkat jerih payah saya membuat buah catur. Makanya, saya tidak mudah begitu saja melepaskan pekerjaan ini," dalih Sugeng yang saat ini memiliki 15 orang karyawan.
Kini, dari tiga dusun sentra pengrajin catur, tinggal dirinya saja yang masih tetap eksis. Setiap bulan ia tetap menyuplai untuk beberapa toko di Surabaya, juga memenuhi kebutuhan lembaga Percasi cabang Malang. Minimal dalam sebulan ia mengirim ke beberapa tempat pemesan itu totalnya 150 set. "Itupun terkadang masih kewalahan, karena mereka maunya minta tambah terus, " ujar Sugeng yang setiap hari dibantu sang istri, Juwariyah untuk menangani pengecatan.
Sugeng menambahkan, saat ini ada perubahan bentuk papan catur yang dibuatnya. Dulu, papan catur sekaligus berfungsi sebagai kotak penyimpan buah catur, kini tidak lagi. Khusus untuk papan catur, ia menggunakan bahan harboard mirip tripleks, yang bisa dilipat kecil menjadi empat lapis. Sedangkan untuk membungkus buah catur, dibuatkan kotak tas plastik khusus dengan klip sebagai penutup, yang kemudian dimasukkan ke tas khusus dengan tulisan Truno Catur sebagai mereknya.
Keunikan sosok Sugeng, meski dalam keseharian dia jago dalam urusan membuat catur, tapi sampai saat ini ia belum pernah bisa memainkan permainan catur. "Saya bisanya cuma bikin saja. Tapi kalau disuruh main catur, justru tidak bisa," katanya sambil tertawa.
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR