Sama seperti aku, awalnya, latar belakang istri bukan dari makanan tapi sekolah musik, yang sama sekali tak ada hubungannya dengan makanan. Tapi kami mencoba mengelola bisnis ini bersama-sama. Sistem kerja yang kami pakai tergantung dari bagiannya masing-masing. Aku biasa makan tapi enggak bisa meracik bumbu, sementara istri merasa, urusan administrasi dan pengembangan restoran, bukanlah bagian dia. Makanya aku yang memegang karena bagiku itu menyenangkan.
(Dalam kesempatan terpisah, Lia Indrowati Muskita menceritakan suka dukanya mengelola Oenpao. "Buka kios berarti harus benar-benar terjun, mulai dari masak sendiri jam 02.00, lalu jam 06.00 sudah buka kios, meladeni pembeli, menerima kritikan, dan hanya dibantu 2 pembantu. Pokoknya semua dilakukan dengan sistem trial by error, mencoba berbagai cara agar hasilnya maksimal. Kendala yang paling susah adalah mengontrol quality food. Jika di dapurnya salah, bisa semuanya salah. Masalah tak pernah habis. Meski konsumen bilang enak, kadang bagi saya masih belum enak. Makanya, saya harus terus mengajari karyawan dapur dengan membuka kelas bagi mereka.
Menjalani bisnis bersama suami pasti mempunyai kendala, terutama saat beradu argumen. Tapi kami selalu terbuka dan berdiskusi. Semua itu mesti dijaga, jangan sampai ruwet hingga memengaruhi produksi. Harus ada salah satu yang mengalah, saling menghargai satu sama lain, dan tetap profesional bekerja. Sebagai istri, saya selalu back up suami.")
Istriku sangat senang ketika membuat makanan baru. Meski melelahkan, tapi bagi dia menyenangkan. Sedangkan aku, lebih senang dan kreatif di bidang interior. Ibaratnya, aku mengelola restoran dan pengembangannya, sedangkan istri mengisi posisi sebagai Chief Culiner Officer.
Suka duka kami lalui bersama. Soal beda pendapat, jangan ditanya, karena pasti selalu terjadi. Contohnya, kalau meracik makanan, menurut istri ada prosedur rumit yang harus dilakukan. Sementara bagiku, masalah simplicity menjadi penting. Kadang aku enggak mau, tapi dia mau, akhirnya jadi bentrok. Ujung-ujungnya, produk baru tidak keluar sampai solusinya ditemukan. Tapi biasanya, setelah beradu argumen, barulah ada jalan keluar, dan makanan bisa diproduksi. Kalau sudah berbeda pendapat, bisa berlangsung sebentar, bisa lama juga. Tak jadi masalah karena suatu saat pasti ketemu solusinya. Buatku, perjalanan ini menjadi perjalanan bersama.
Salah satu inovasi yang kami lakukan adalah membuat pabrik makanan yang lebih nyaman. Dari pabrik ini, semua produk didistribusikan ke seluruh cabang Oenpao dalam bentuk frozen atau bumbu. Jadi, tinggal campur, aduk, oseng, tidak ada faktor kesulitan apa-apa. Sejak awal memang konsepnya sudah begitu. Jika diserahkan ke orang, bahannya bisa beda-beda. Dengan distribusi satu pintu, maka semua racikan rasa akan sama.
Kepada karyawan pun aku selalu memupuk hubungan baik. Bahkan, karyawanku yang bekerja di sini, ada yang bekerja sejak pertama kali Oenpao dibuka. Ada juga yang sudah menikah dengan sesama karyawan. Istilahnya, cinlok (cinta lokasi). Ha ha ha. Bagiku, karyawan adalah mitra. Mereka bukan sekadar kerja untuk aku, tapi bekerja bersama-sama untuk Oenpao. Oenpao adalah sebuah kapal besar, dengan harapan, masing-masing menemukan fungsinya di kapal itu. Agar bisa berlayar lebih jauh dan lebih lama, secara bersama-sama.
Aku juga menjaga mutu makanan. Oenpao memang bukan makanan terenak sedunia, tapi buatku makanan di Oenpao itu baik. Aku selalu berusaha memberikan kualitas terbaik, diawali dari bahan baku yang baik pula. Makanan di Oenpao bisa untuk makan sehari-hari, bukan makan sekali-kali. Banyak restoran yang didatangi hanya sebulan sekali, tapi ke Oenpao, setiap hari pun tak apa. Dari sisi harga juga lumayan bersahabat.
Cita-citaku sebenarnya ingin mengembangkan Oenpao lebih banyak seperti punya 9 ribu restoran. Ketika aku kemukakan hal ini, banyak yang menertawakanku. Tapi bagiku ini penting karena berkaitan dengan saluran berkah banyak orang. Buktinya, dalam perjalanan ke sana, aku selalu mendapatkan tuntunan dari Tuhan. Jika diminta buka sebulan 20 restoran, akan kulakukan. Asalkan ada lokasi dan investor. Malah aku berani buka 50 store dalam 5 tahun. Proses ini, kan, baru berjalan 1,5 tahun, tapi nyatanya aku sudah punya 20 store. Mungkin tak sampai 5 tahun, sudah punya 50 store.
Dengan menggandeng investor, aku masuk sebagai operator dan pengelola, lalu bagi hasil. Beda dengan franchise, karena dengan cara ini, kamilah yang mengelola. Jika tak berhasil, kami tidak dapat uang, dan ruginya pun kami yang menanggung. Makanya, pemilihan tempat sangat kami perhatikan.
KOMENTAR